“It’s about heart.
Their heart…” (hlm. 15)
Judul : Home – Saling menjauh tapi saling merindu
Nama Penulis : Iva Afianti
Editor : Arini Hidajati
Tata Sampul : Agus
Tata Isi : Atika
Pracetak : Antini, Dwi, Wardi
Penerbit : Diva Press
Tanggal Terbit : September 2013
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-255-300-7
Menjual
rumah ini bukan hanya menjual sebuah bangunan fisik. Bagi saya, rumah ini
adalah kenangan, sejarah, dan… kehidupan itu sendiri. Pada setiap dinding,
ruang, dan lekuk likunya, ada cerita tersendiri. Pahit, manis, asam, getir,
semua lengkap.
“Sejak
dulu, saya selalu berusaha bersetia pada setiap kenangan itu. Lalu, ketika
sekarang suami saya begitu ingin menjualnya, di mana lagi saya akan meletakkan
semua kenangan itu? Hati saya jelas tak mampu menampung semuanya… Saya, dan
kami, perlu sesuatu yang berwujud untuk mewadahi kenangan itu.
“Benarkah
Kurt ingin menjualnya karena rumah ini kini hanya menyimpan pedihnya sunyi
semenjak anak-anak mereka meninggalkan mereka berumah tangga dan berjauhan?
“Truly,
bisakah kau membantu memecahkan kebekuan ini?”
***
Sebuah
novel unik dan sangat menyentuh. Menyadarkan akan pentingnya hakikat cinta,
ketulusan, kegairahan, kasih sayang, dan juga nilai kebersamaan. Dan, terutama
arti sebenarnya dari sebuah rumah bagi kita semua.
Selamat
membaca!
“Tuhan, jika aku boleh meminta, jangan biarkan
rumah ini laku. Terlalu banyak kenangan yang tersimpan. Ya, meski hanya sempat
tersimpan dan lebih banyak tak terucap, rumah ini tetaplah sebuah sejarah
bagiku. Ketika dia pergi, maka jiwaku akan pergi pula. Hanya disini aku merasa
jiwaku terpaku.”
Home
menceritakan tentang dinginnya hubungan antara seorang ayah dan ketujuh anaknya
dalam Rumah Menteng. Yang melewati masa-masa kritis menuju remaja dengan diam
dan kepatuhan semu, sementara keinginan memberontak dan berbeda demikian besar.
Serta masa lalu mereka yang terbilang cukup rumit dan kompleks antara Kurt dan
ketujuh anaknya hingga membuat hubungan antara mereka menjadi renggang.
Hingga
akhirnya, Kurt —mantan diplomat (84 th) ingin menjual rumah Menteng yang sudah
berdiri sejak 12 atau 13 generasi lampau dengan berbagai alasan yang dianggap
Bea —istri Kurt (72 th) kurang masuk akal. Okey, kita kenalan dulu yuk sama
para pemain utamanya.
Wisnu, cowok pintar, kalem alias cool. Kamus berjalan yang tetap humble.
Si sulung penyuka bir. Memiliki gengsi yang tinggi. Manusia paling sensitive
sedunia.
Truly,
Ratu impulsive dan Miss ceroboh yang nekatnya melampaui maling. Suka bicara
tanpa tedeng aling-aling. Gadis jorok yang menyimpan bungkus permen, cokelat,
dan cover kaset di dalam tasnya. Tentunya
memiliki paras yang cantik dengan mata yang selalu berbinar.
Bea,
baik, bijak, ceria dan cerdas. Punya sifat mood
swing yang cukup mengerikan. Tipe ibu-ibu yang tetap rapi berdandan meski
tidak punya acara keluar.
Kurt,
Mr. Ice Prince. Seorang yang introvert, pendiam, penyendiri dan
pekerja keras. Kaku dan kurang pandai mengucapkan perasaannya. Penyuka
ketenangan dan sangat tertutup. Penguasa absolut di rumah Menteng.
Papa bahkan lebih sibuk dari
presiden. Untuk bisa bertemu dan berbicara dari hati ke hati dengannya saja,
kami harus melalui serangkaian prosedur, seperti memastikan tanggal bertemu,
lalu menyampaikan lewat Mama. Kemudian Mama yang akan menyampaikan pada Papa.
Lalu Papa akan menyatakan kesediaan atau penolakannya dan sebagainya. Tak
jarang, kami, anak-anaknya, merasa lelah dengan hal ini. (hlm. 179)
Kesan
pertama ketika melihat penampilan novel ini yaitu suka. Desain sampul bagian
depannya manis dan cukup menggambarkan petunjuk isi novel. Ilustrasi rumah di
sampul depan terlihat pas dengan deskripsi rumah Menteng.
Awal-awal
membaca, sempat kecewa karena ternyata tokohnya adalah kakek dan nenek. Dibenak
saya terbersit sebuah pemikiran, “Apa yang bisa digali dari cerita kakek-kakek
dan nenek-nenek ?”
Tapi
setelah akhirnya selesai membaca buku ini. Nggak bisa berkata-kata. Novel ini
bagus banget, dan dua teman saya —laki-laki semua, mengatakan hal yang sama.
Menggunakan improve untuk
masing-masing tokoh membuat konflik cerita semakin terasa. Sempat kecewa karena
saya pikir Kurt tidak melakukan improve. Karena diawal-awal kebanyakan tokoh
yang melakukan improve adalah Wisnu dan Truly, sedangkan untuk Bea sendiri
tidak terlalu banyak. Tapi, penulis memang is
the best. Di bagian belakang, tenyata Kurt melakukan improve yang langsung
membuat saya gembira. Karena apa ? Saya merasa dengan tokoh Kurt melakukan
improve, kita akan mengetahui alasan versi Kurt mengapa ia tetap kekeh ingin menjual Rumah Menteng.
Gaya bahasa yang digunakan
sederhana, nggak njimet sehingga
tidak membuat pusing kepala saya saat membacanya. Hanya
saja mulai di bagian belakang cerita, di sanalah gaya bahasa yang digunakan menjadi
sedikit goyah dan rancu untuk dimengerti.
Karakter untuk setiap tokoh juga
dijelaskan secara gamblang di bagian-bagian terpisah di dalam cerita yang
membuat saya semakin menyukai cerita dalam novel ini. Karena memang sejatinya,
karakter dalam tokoh harus dijelaskan agar pembaca tidak merasa bingung.
Untuk setting tempatnya, saya rasa
sudah cukup dieksplor, walaupun tidak terlalu detail. Karena saya merasa jika
terlalu banyak mengeksplor setting tempat hanya akan menjadikan cerita terjebak
untuk menjadi reporter.
Alur yang digunakan adalah alur
campuran. Yaitu alur maju dan alur mundur. Kebanyakan adalah alur mundur,
penulis menyajikan cerita masa lalu para tokoh. Walaupun begitu agak pusing dan
bingung juga saat penulis menyajikan silsilah keluarga Bea. Mulai dari
kakak-sampai adik-adiknya.
Untuk kekurangannya adalah masalah typo.
Masalah yang umum di dalam dunia penerbitan.
Dan dalam novel ini saya masih banyak menemukan typo, seperti contoh :
Oh, jangan saja beliau bertanya tentang tukang
cat itu. (hlm. 88)
Seharusnya kata ‘saja’ diganti dengan kata ‘sampai.’
Tiba-tiba
kurasakan melankoli yang indah. Aku rindu papaku almarhum. (hlm. 282)
Seharusnya kata ‘almarhum’
diletakkan sebelum kata ‘papaku.’
“Ah, gue lihat lu akrab kok sama Tante Bea dan Om
Kurt. Eh, gue baru tumben lho lihat Om Kurt ketawa lebar pas ngobrol
sama elu.” (hlm. 292)
Seharusnya salah satu dari kata ‘baru’ ‘tumben’
dihilangkan, karena menurut saya kata-kata itu memiliki arti yang sama.
Itu sebagian kecil dari typo yang ada di dalam novel,
sebenarnya masih banyak yang saya temukan di halaman 348 dan halaman 369. Ada
juga bagian flashback
di
halaman 268 yang disajikan secara tiba-tiba hingga membuat saya bingung dan harus
mengulanginya lagi
Beberapa
kalimat favorit dalam buku ini :
1. Benarlah kata pepatah, didiklah anakmu untuk hidup
pada zaman yang bukan zamanmu lagi. (hlm. 58)
2.
Dan bagi seorang suami yang pulang kantor dalam
keadaan lelah lahir batin seperti ini, hiburan apa lagi yang paling
menyenangkan dan membahagiakan selain seorang istri yang masih memerlukan diri
menunggu suaminya pulang, meski dia sudah sangat capek ? (hlm. 95)
3. Seorang manusia tak akan bisa hidup tanpa sejarah masa
lalunya. (hlm. 100)
4.
Mana ada orang melarat yang punya iPad dan iPhone,
langganan TV berbayar, punya mobil dua meski sederhana, dan punya rumah sendiri
meski tak besar ? (hlm. 136)
5. Lagi pula, kebahagiaan itu tak selalu bisa diukur
dengan harta (hlm. 137)
6. Kita adalah tiada. Kita hanya bayangan dan kabut yang
mewujud dalam tubuh dunia. (hlm. 383)
Overall, saya menikmati perjalanan keluarga besar Kurt
dan Bea yang membuat emosi saya dibawa naik turun, apalagi penulis mengejutkan
saya dengan penyakit Bea yang terungkap di bagian akhir cerita. Amazing!
Lima dari lima bintang untuk kisah
cinta Kurt dan Bea yang walaupun sudah tua tapi tetap bisa menjaga
kemesraannya. Cocok banget dibaca buat kalian yang ingin mengetahui apa arti
cinta sejati yang sesungguhnya, ketulusan, kasih sayang dan kesetiaan.
0 komentar:
Posting Komentar