Selasa, 25 November 2014

Home – Saling menjauh tapi saling merindu



“It’s about heart. Their heart…” (hlm. 15)


Judul : Home – Saling menjauh tapi saling merindu
Nama Penulis : Iva Afianti
Editor : Arini Hidajati
Tata Sampul : Agus
Tata Isi : Atika
Pracetak : Antini, Dwi, Wardi
Penerbit : Diva Press
Tanggal Terbit : September 2013
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-255-300-7


Menjual rumah ini bukan hanya menjual sebuah bangunan fisik. Bagi saya, rumah ini adalah kenangan, sejarah, dan… kehidupan itu sendiri. Pada setiap dinding, ruang, dan lekuk likunya, ada cerita tersendiri. Pahit, manis, asam, getir, semua lengkap.
            “Sejak dulu, saya selalu berusaha bersetia pada setiap kenangan itu. Lalu, ketika sekarang suami saya begitu ingin menjualnya, di mana lagi saya akan meletakkan semua kenangan itu? Hati saya jelas tak mampu menampung semuanya… Saya, dan kami, perlu sesuatu yang berwujud untuk mewadahi kenangan itu.
            “Benarkah Kurt ingin menjualnya karena rumah ini kini hanya menyimpan pedihnya sunyi semenjak anak-anak mereka meninggalkan mereka berumah tangga dan berjauhan?
            “Truly, bisakah kau membantu memecahkan kebekuan ini?”
***
            Sebuah novel unik dan sangat menyentuh. Menyadarkan akan pentingnya hakikat cinta, ketulusan, kegairahan, kasih sayang, dan juga nilai kebersamaan. Dan, terutama arti sebenarnya dari sebuah rumah bagi kita semua.
            Selamat membaca!


 “Tuhan, jika aku boleh meminta, jangan biarkan rumah ini laku. Terlalu banyak kenangan yang tersimpan. Ya, meski hanya sempat tersimpan dan lebih banyak tak terucap, rumah ini tetaplah sebuah sejarah bagiku. Ketika dia pergi, maka jiwaku akan pergi pula. Hanya disini aku merasa jiwaku terpaku.”

Home menceritakan tentang dinginnya hubungan antara seorang ayah dan ketujuh anaknya dalam Rumah Menteng. Yang melewati masa-masa kritis menuju remaja dengan diam dan kepatuhan semu, sementara keinginan memberontak dan berbeda demikian besar. Serta masa lalu mereka yang terbilang cukup rumit dan kompleks antara Kurt dan ketujuh anaknya hingga membuat hubungan antara mereka menjadi renggang.

Hingga akhirnya, Kurt —mantan diplomat (84 th) ingin menjual rumah Menteng yang sudah berdiri sejak 12 atau 13 generasi lampau dengan berbagai alasan yang dianggap Bea —istri Kurt (72 th) kurang masuk akal. Okey, kita kenalan dulu yuk sama para pemain utamanya.

 Wisnu, cowok pintar, kalem alias cool. Kamus berjalan yang tetap humble. Si sulung penyuka bir. Memiliki gengsi yang tinggi. Manusia paling sensitive sedunia.

Truly, Ratu impulsive dan Miss ceroboh yang nekatnya melampaui maling. Suka bicara tanpa tedeng aling-aling. Gadis jorok yang menyimpan bungkus permen, cokelat, dan cover kaset di dalam tasnya. Tentunya memiliki paras yang cantik dengan mata yang selalu berbinar.

Bea, baik, bijak, ceria dan cerdas. Punya sifat mood swing yang cukup mengerikan. Tipe ibu-ibu yang tetap rapi berdandan meski tidak punya acara keluar.
Kurt, Mr. Ice Prince. Seorang yang introvert, pendiam, penyendiri dan pekerja keras. Kaku dan kurang pandai mengucapkan perasaannya. Penyuka ketenangan dan sangat tertutup. Penguasa absolut di rumah Menteng.

Papa bahkan lebih sibuk dari presiden. Untuk bisa bertemu dan berbicara dari hati ke hati dengannya saja, kami harus melalui serangkaian prosedur, seperti memastikan tanggal bertemu, lalu menyampaikan lewat Mama. Kemudian Mama yang akan menyampaikan pada Papa. Lalu Papa akan menyatakan kesediaan atau penolakannya dan sebagainya. Tak jarang, kami, anak-anaknya, merasa lelah dengan hal ini. (hlm. 179)

            Kesan pertama ketika melihat penampilan novel ini yaitu suka. Desain sampul bagian depannya manis dan cukup menggambarkan petunjuk isi novel. Ilustrasi rumah di sampul depan terlihat pas dengan deskripsi rumah Menteng.

            Awal-awal membaca, sempat kecewa karena ternyata tokohnya adalah kakek dan nenek. Dibenak saya terbersit sebuah pemikiran, “Apa yang bisa digali dari cerita kakek-kakek dan nenek-nenek ?”

            Tapi setelah akhirnya selesai membaca buku ini. Nggak bisa berkata-kata. Novel ini bagus banget, dan dua teman saya —laki-laki semua, mengatakan hal yang sama.

            Menggunakan improve untuk masing-masing tokoh membuat konflik cerita semakin terasa. Sempat kecewa karena saya pikir Kurt tidak melakukan improve. Karena diawal-awal kebanyakan tokoh yang melakukan improve adalah Wisnu dan Truly, sedangkan untuk Bea sendiri tidak terlalu banyak. Tapi, penulis memang is the best. Di bagian belakang, tenyata Kurt melakukan improve yang langsung membuat saya gembira. Karena apa ? Saya merasa dengan tokoh Kurt melakukan improve, kita akan mengetahui alasan versi Kurt mengapa ia tetap kekeh ingin menjual Rumah Menteng.
  
            Gaya bahasa yang digunakan sederhana, nggak njimet sehingga tidak membuat pusing kepala saya saat membacanya. Hanya saja mulai di bagian belakang cerita, di sanalah gaya bahasa yang digunakan menjadi sedikit goyah dan rancu untuk dimengerti.

            Karakter untuk setiap tokoh juga dijelaskan secara gamblang di bagian-bagian terpisah di dalam cerita yang membuat saya semakin menyukai cerita dalam novel ini. Karena memang sejatinya, karakter dalam tokoh harus dijelaskan agar pembaca tidak merasa bingung.

            Untuk setting tempatnya, saya rasa sudah cukup dieksplor, walaupun tidak terlalu detail. Karena saya merasa jika terlalu banyak mengeksplor setting tempat hanya akan menjadikan cerita terjebak untuk menjadi reporter.

            Alur yang digunakan adalah alur campuran. Yaitu alur maju dan alur mundur. Kebanyakan adalah alur mundur, penulis menyajikan cerita masa lalu para tokoh. Walaupun begitu agak pusing dan bingung juga saat penulis menyajikan silsilah keluarga Bea. Mulai dari kakak-sampai adik-adiknya.
           
Untuk kekurangannya adalah masalah typo. Masalah yang umum di dalam dunia penerbitan. Dan dalam novel ini saya masih banyak menemukan typo, seperti contoh :

Oh, jangan saja beliau bertanya tentang tukang cat itu. (hlm. 88)
Seharusnya kata ‘saja’ diganti dengan kata ‘sampai.’

            Tiba-tiba kurasakan melankoli yang indah. Aku rindu papaku almarhum. (hlm. 282)
            Seharusnya kata ‘almarhum’ diletakkan sebelum kata ‘papaku.’

“Ah, gue lihat lu akrab kok sama Tante Bea dan Om Kurt. Eh, gue baru tumben lho lihat Om Kurt ketawa lebar pas ngobrol sama elu.” (hlm. 292)
Seharusnya salah satu dari kata ‘baru’ ‘tumben’ dihilangkan, karena menurut saya kata-kata itu memiliki arti yang sama.

Itu sebagian kecil dari typo yang ada di dalam novel, sebenarnya masih banyak yang saya temukan di halaman 348 dan halaman 369. Ada juga bagian flashback di halaman 268 yang disajikan secara tiba-tiba hingga membuat saya bingung dan harus mengulanginya lagi

Beberapa kalimat favorit dalam buku ini :

1. Benarlah kata pepatah, didiklah anakmu untuk hidup pada zaman yang bukan zamanmu lagi. (hlm. 58)
2.  Dan bagi seorang suami yang pulang kantor dalam keadaan lelah lahir batin seperti ini, hiburan apa lagi yang paling menyenangkan dan membahagiakan selain seorang istri yang masih memerlukan diri menunggu suaminya pulang, meski dia sudah sangat capek ? (hlm. 95)
3. Seorang manusia tak akan bisa hidup tanpa sejarah masa lalunya. (hlm. 100)
4. Mana ada orang melarat yang punya iPad dan iPhone, langganan TV berbayar, punya mobil dua meski sederhana, dan punya rumah sendiri meski tak besar ? (hlm. 136)
5. Lagi pula, kebahagiaan itu tak selalu bisa diukur dengan harta (hlm. 137)
6. Kita adalah tiada. Kita hanya bayangan dan kabut yang mewujud dalam tubuh dunia. (hlm. 383)

Overall, saya menikmati perjalanan keluarga besar Kurt dan Bea yang membuat emosi saya dibawa naik turun, apalagi penulis mengejutkan saya dengan penyakit Bea yang terungkap di bagian akhir cerita. Amazing!
           
            Lima dari lima bintang untuk kisah cinta Kurt dan Bea yang walaupun sudah tua tapi tetap bisa menjaga kemesraannya. Cocok banget dibaca buat kalian yang ingin mengetahui apa arti cinta sejati yang sesungguhnya, ketulusan, kasih sayang dan kesetiaan.





0 komentar:

Posting Komentar

 

Miss Romances Book Published @ 2014 by Ipietoon