Guntur
Aku bertemu dengannya dua tahun yang
lalu. Kalau tidak salah, hari itu dia sedang kehujanan. Dia menepi sambil
mengelap baju dan juga rambut panjangnya menggunakan sapu tangan merah jambu.
Padahal kejadian itu sudah berlalu selama dua tahun, tapi ternyata ingatanku
masih bagus juga, hingga untuk detail motif yang menghiasi sapu tangannya.
Aku juga masih ingat bagaimana akhirnya
aku bisa berbicara dengannya, sekedar bertanya apa dia butuh tumpangan.
“Apa
kau butuh tumpangan ?” tanyaku padanya. Karena aku bukan tipe orang yang suka
berbasa-basi dulu, jadi aku langsung to the point saja padanya. Untunglah dia
tidak menganggapku gila atau cari perhatian. Sebaliknya, dia merespon dengan
baik.
Dia
tersenyum padaku. “Kalau kamu tidak keberatan.” Mungkin karena waktu itu sudah
larut malam atau karena dia takut sendirian, akhirnya dia mau. Entah terpaksa
atau tidak. Yang pasti aku tidak bisa menyembunyikan perasaan senangku saat
itu. Wow, bahkan dia sama sekali tidak mencurigaiku, apakah aku ini penjahat
atau orang baik.
Itulah pertemuan singkatku dengannya.
Yang kuketahui selanjutnya, ternyata dia satu kantor denganku. Hanya saja aku
dibagian distributor sedangkan dia bagian administrasi. Setelah kejadian itu,
aku selalu bertemu dengannya. Ah… salah, maksudnya aku memang sengaja
menemuinya. Mencari-cari waktu disela-sela pekerjaan untuk menemuinya, entah
itu untuk sekedar menyapa atau melihat wajahnya.
Namanya, Julia. Gadis baik yang memiliki
paras cantik —di mataku. Dia adalah gadis yang supel, ceria dan suka menolong.
Dia adalah tipe wanita idaman para lelaki untuk dijadikan istri, tidak
terkecuali aku.
Julia
Hari ini, tepat dua tahun kematianku.
Dan hari ini pula, aku akan menagih janji yang diberikan malaikat kematianku
dulu. Menunggu selama dua tahun bukanlah hal yang mudah. Dikurung ditempat yang
sempit dan pengap serta gelap. Tempat ini sangat menyesakkan. Aku benar-benar
menunggu hari itu tiba. Dan akhirnya, hari itu datang juga.
“Aku akan mengabulkan 4 permintaanmu, sesuai
janjiku dua tahun silam. Jadi apa yang kau inginkan ?” suara malaikat maut
terdengar langsung di dalam pikiranku. Tangannya membawa sabit dengan tangkai
baja panjang. Sekarang ini, aku bahkan tidak takut lagi dengan sabit yang
selalu dibawanya itu.
“Pertama, aku ingin nyawaku. Kedua,
nyawaku. Ketiga, nyawaku. Dan yang terakhir dan paling penting dalam hidupku.
Nyawaku. KEMBALIKAN NYAWAKU.” Kataku, tegas dan sedikit berteriak dihadapannya. Aku sudah lepas kendali.
“Itu bukan sebuah permintaan. Aku tidak
akan mengabulkannya.” Jawab malaikat itu dengan suara menggelegar di telingaku.
Ahh… rasanya kupingku bisa tuli karena suaranya itu.
“Hei! Kau curang. Kau bilang akan
mengabulkan permintaanku. Apapun itu seharusnya kau mengabulkannya.” Aku
berteriak marah padanya. Aku melakukan semua yang di inginkannya. Mendekam di
ruangan sempit menyesakkan itu selama dua tahun juga demi 4 permintaan yang
nantinya akan dikabulkan olehnya. Tapi kenapa sekarang dia tidak mau
mengabulkannya ? Bukankah itu sebuah kecurangan ?
“Mengembalikan nyawamu adalah sebuah
kemustahilan. Kau sudah mati dan itu takdir. Jadi, akan ku ulangi sekali lagi,
apa keinginanmu ?” kembali malaikat maut itu bertanya padaku. Suaranya mulai
melembut. Tapi aku tidak akan tertipu. Tidak untuk kesekian kalinya.
“AKU INGIN NYAWAKU.” Kataku, kembali
berteriak. Rasanya tenagaku terkuras habis hanya karena berteriak beberapa kali
saja. Hanya inikah energi yang dimiliki hantu sepertiku ?
“Kau sungguh keras kepala.
Seharusnya kau bersyukur karena kau mendapatkan kesempatan langka seperti ini dibandingkan
yang lainnya. Kau tahu itu bukan ?”
Perkataan itu lagi. Berapa kali dia
berkata seperti itu.
Perkataan ampuh yang langsung
membuatku bungkam. Ahh… sulit rupanya berdebat dengan seorang malaikat.
“Baiklah. Pertama, aku ingin hidup lagi, sebagai diriku sendiri. Bukan meminjam
tubuh orang lain. Tapi, aku. Aku sendiri.”
“Ada lagi ?”
“Kedua, aku juga ingin hidup selama
kurang lebih satu minggu ? Mudah kan ?”
“Empat hari. Hanya empat hari dan
kau akan menghilang.”
“Lima hari. Bagaimana ?” aku sedang
bernegosiasi dengannya, dan itu tidak mudah. Begitu banyak masalah sebelum aku meninggal
dulu. Aku ingin menyelesaikannya, dan menghilang —terpaksa.
“Dua hari.” Terangnya.
“Hei! Bagaimana bisa kau memangkasnya
begitu banyak. Kau curang.”
“Satu hari.” Dia bahkan tidak
memedulikan ucapanku barusan.
“Baiklah. Dua hari. Kelihatannya cukup
untuk meluruskan berbagai masalah yang timbul sebelum aku meninggal dulu. Ketiga,
jangan hapus ingatannya tentangku walaupun aku sudah menghilang setelah
menemuinya nanti. Dan yang terakhir, tolong berikan seseorang yang mampu
mendampinginya, agar dia bisa melupakanku.” Aku ingin dia hidup dengan layak
dan tidak terus-terusan memikirkan tentang kesalahannya. Karena penyebab
kematianku tidak sepenuhnya kesalahannya.
“4 permohonanmu diterima. Sekarang
bersiaplah.” Kata malaikat maut, dia lalu menyodokkan gagang sabitnya langsung
ke arahku. Rasanya tidak sakit, melainkan menyerupai sentakan aneh yang
menyengat. Setelahnya, malaikat itu menghilang.
0 komentar:
Posting Komentar