Malaikat itu
datang
Malaikat
pelindung
Malaikat itu
datang
Malaikat pemberi
luka
N . N
***
Aku terus menatap secarik kertas di
tanganku. Sungguh tidak masuk akal dan konyol. Malaikat ? Ayolah, demi apapun,
itu hanya sebuah khayalan saja. Dongeng kadaluarsa semasa aku kecil. Konyol
memang, tapi dulu aku sangat senang jika Mom menceritakan kisah seorang
malaikat —lebih tepatnya malaikat kebaikan saat beranjak tidur.
Sekarang aku sudah delapan belas tahun.
Bisa dikatakan aku sudah dewasa. Bukan anak kecil lagi, jadi jangan harap aku
akan tertipu. Aku yakin orang yang mengirim surat ini tadi malam tidak waras.
Ya, itu pasti benar.
Dengan kesal, aku meremas surat itu
hingga kusut karena hanya secarik kertas ini aku jadi tidak bisa tidur nyenyak.
Setelah puas meremasnya, aku memasukkannya ke saku celana jeans yang kupakai
dan berlari menuju kelas Kimia. Kalau tidak, aku tidak yakin Mr. Patrick akan
membebaskanku dari hukuman kali ini.
***
Aku sedang mengambil buku pelajaran
Kimia di loker saat seorang cowok mendekatiku. Bajunya sangat casual. Dilihat
dari gerak-geriknya, aku yakin dia anak baru di sekolah ini. “Kau baik-baik
saja?” kataku, menghampirinya.
Dia menatapku sekilas. Wajahnya
mulai mengamatiku. Dari atas sampai bawah. Setidaknya aku bukan pemberontak sekolah
dimatanya, itu saja.
“Aku sedang tidak baik-baik saja. Aku
kebingungan.” Bibirnya membentuk lengkungan. Lebih tepatnya dia sedang
tersenyum. Ada kesan lain saat aku tidak sengaja melihat senyumnya itu. Aneh,
tapi apa itu? Aku kurang tahu.
“Mungkin aku bisa membantu menemukan
kelasmu?” setidaknya itulah yang harus dilakukan seorang murid lama kepada
murid baru yang tersesat ini. Kesan baik harus dibangun lebih awal bukan? Lagipula
aku bukan tipe wanita galak seperti temanku, Ever.
“Aku kebingungan mencari kelas
Kimia?” lanjutnya.
Ini bukan sebuah kebetulan kan ? Dia
sekelas denganku. “Hari ini aku juga ada kelas Kimia. Kita bisa sama-sama kesana.
Jika kau tidak keberatan?” tanyaku, sedikit canggung.
“Tentu saja.” Ada sedikit jeda di kalimatnya.
Aku lalu melangkah lebih dulu setelah sebelumnya melempar senyum canggung. “Kita
belum sempat berkenalan, aku Luke Dashner.” Dia mengulurkan tangan dan
tersenyum menawan.
“Aku Kristin Struloef.” Aku berhasil
mengatakannya juga. Tangannya yang menggenggam tanganku sangat kuat. Seperti
ada aliran aneh dalam dirinya yang mengalir ke dalam tubuhku lewat sentuhan
itu. Dan…
“Auu!!” Aku tidak tahu apa, tapi terlalu
lama berjabatan tangan dengannya membuatku merasakan sebuah sengatan kecil
menyakitkan. Dia bukan manusia listrik kan ?
Aku menatapnya lebih teliti. Tidak
ada yang aneh. Dia persis manusia. Hanya dengan beberapa keistimewaan saja.
Rambut cokelat menutupi dahi dengan mata abu-abunya yang bening. Dia cowok yang
luar biasa tampan dan punya senyuman menawan. Aku sangat menjamin, beberapa
hari dia berada disini, pasti akan banyak anak perempuan yang langsung jatuh
cinta padanya.
Tapi, tunggu dulu…
Pertanda apakah ini?
***
Aku sedang sibuk mempelajari matematika
dengan rumus tumpang tindihnya di buku, saat Mom berteriak memanggilku.
“Kristin, bisakah aku keluar
sebentar sayang ?” panggilnya dari ruang tamu. Tanpa pikir panjang, aku
langsung melesat turun kebawah dan menghampiri Mom yang sedang berdiri di
ambang pintu rumah.
“Ada apa Mom ?” tanyaku.
Mom lantas memandangku, lalu mengulurkan
sebuah surat. “Ini surat untukmu. Sepertinya kau punya seorang penggemar
sayang. Mungkin isi surat ini adalah pernyataan cinta.” Katanya, menggodaku.
Aku tidak lantas menjawab ucapan
Mom. Sekarang ini yang lebih menarik adalah isi surat itu. “Tidak juga, Mom.
Aku bahkan tidak punya banyak teman.” Setelah mengatakan itu, aku langsung naik
ke atas dan masuk ke dalam kamar.
ukup simple
alasannya kenapa aku tidak ingin membuka surat itu di depan Mom, aku tidak mau
Mom tahu apa isi surat itu. Jika ternyata pernyataan cinta dari seorang teman
sekolah yang diam-diam memendam rasa padaku seperti yang dikatakan Mom, dia
akan meledekku sepanjang malam. Aku tahu persis sifat Mom.
Malaikat itu
mendatangimu
Malaikat itu
melukaimu
Malaikat itu
pergi
N .N
Aku terkejut, tentu saja. Well, ini gila. Siapa yang
berani-beraninya mengirim surat ini padaku. Ini seperti sebuah ultimatum yang
aku juga tidak tahu apa artinya. Akibat isi surat yang baru kubaca, aku jadi
ketakutan sendiri.
Lalu, apa yang harus aku lakukan jika
malaikat itu datang ? Aku memandang sekeliling. Kulihat jendela kamar masih
terbuka, tanpa komando aku langsung beringsut menghampirinya dan menutup jendela
rapat-rapat.
Mungkin lebih baik tidur, pikirku. Aku
langsung berlari dan menerjang tempat tidur dengan liar. Tidak lupa aku juga
menyelimuti tubuh secara keseluruhan dengan selimut. Aku yakin Mom akan tertawa
terbahak-bahak jika melihat aksiku ini. Tapi ini adalah keadaan gawat darurat.
Aku masih delapan belas tahun, aku bahkan belum pergi ke Prom. Aku tidak ingin
mati dulu.
Entah bagaimana, mungkin karena
kelelahan atau karena ketakutan aku akhirnya jatuh tertidur.
Tidurku awalnya cukup nyenyak dan aku
bermimpi. Sesuatu yang jarang sekali terjadi padaku. Namun, itu bukan mimpi
yang indah. Itu semacam mimpi yang mengerikan. Mimpi mengerikan yang sangat
nyata.
Seorang malaikat datang menghampiriku.
Tapi ada yang berbeda darinya. Sayapnya bukan putih bersinar seperti yang
pernah diceritakan Mom saat aku masih kecil, melainkan hitam pekat. Dia terus
melangkah mendekatiku, sementara diriku. Entah kenapa, aku kesakitan. Sakit
yang luar biasa. Kaki dan tanganku rasanya kebas semua. Aku bahkan tidak mampu
untuk sekedar berdiri. Apa-apaan ini ?
Malaikat itu semakin dekat kepadaku. Aku
bisa merasakan sebuah gelombang kesedihan mendalam melandaku. Ini aneh! Apa
yang sebenarnya ingin dilakukan malaikat itu ?
Samar-samar akhirnya aku bisa melihat
wajahnya. Dia melempar senyum kepadaku. Menawan. Tapi, tunggu dulu…
Aku mengenalnya. Aku mengenal siapa
malaikat itu. Dia, Luke. Iya, siswa baru pindahan dari London. Luke Dashner.
Malaikat itu berhenti tepat di samping ranjang tidurku. Dia lalu menyentuh
pipiku dengan tangannya. Sungguh konyol, tangannya sangat dingin dan menyakitkan.
Bangun…
bangun… bangun… Kristin.
Entah ini hanya mimpi atau kenyataan.
Dengan panik aku menyuruh diriku untuk segera bangun. Mengakhiri mimpi dan
penderitaan ini. Aku sungguh kesakitan.
“Aku tidak akan menyakitimu, Kristin.”
Katanya, menenangkanku yang sedang ketakutan.
Neville… Neville Noel…
Neville Noel…
Neville… Neville…
Neville…
Nama itu terus bergaung diotakku.
Setelahnya mimpi itu akhirnya lenyap dan aku terbangun dengan keringat dingin
di sekujur tubuhku. Rasa sakit yang bukan main itu bahkan masih tersisa
walaupun tidak terlalu.
“Neville Noel.” Kataku. Dia sungguh
mirip dengan Luke. Mungkinkah itu Luke ?
Saat aku memandang sekeliling, tidak ada
yang berubah. Syukurlah, itu hanya mimpi. Saat aku ingin beranjak dari tempat
tidur, mataku menangkap secarik kertas yang berada di depan kaca riasku.
Malaikat itu datang lagi.
N
. N
0 komentar:
Posting Komentar