Jumat, 21 November 2014

Boys in Letters




Malaikat itu datang
Malaikat pelindung
Malaikat itu datang
Malaikat pemberi luka

     N . N


***
            Aku terus menatap secarik kertas di tanganku. Sungguh tidak masuk akal dan konyol. Malaikat ? Ayolah, demi apapun, itu hanya sebuah khayalan saja. Dongeng kadaluarsa semasa aku kecil. Konyol memang, tapi dulu aku sangat senang jika Mom menceritakan kisah seorang malaikat —lebih tepatnya malaikat kebaikan saat beranjak tidur.
           
Sekarang aku sudah delapan belas tahun. Bisa dikatakan aku sudah dewasa. Bukan anak kecil lagi, jadi jangan harap aku akan tertipu. Aku yakin orang yang mengirim surat ini tadi malam tidak waras. Ya, itu pasti benar.
           
Dengan kesal, aku meremas surat itu hingga kusut karena hanya secarik kertas ini aku jadi tidak bisa tidur nyenyak. Setelah puas meremasnya, aku memasukkannya ke saku celana jeans yang kupakai dan berlari menuju kelas Kimia. Kalau tidak, aku tidak yakin Mr. Patrick akan membebaskanku dari hukuman kali ini.
***
            Aku sedang mengambil buku pelajaran Kimia di loker saat seorang cowok mendekatiku. Bajunya sangat casual. Dilihat dari gerak-geriknya, aku yakin dia anak baru di sekolah ini. “Kau baik-baik saja?” kataku, menghampirinya.

            Dia menatapku sekilas. Wajahnya mulai mengamatiku. Dari atas sampai bawah. Setidaknya aku bukan pemberontak sekolah dimatanya, itu saja.
           
“Aku sedang tidak baik-baik saja. Aku kebingungan.” Bibirnya membentuk lengkungan. Lebih tepatnya dia sedang tersenyum. Ada kesan lain saat aku tidak sengaja melihat senyumnya itu. Aneh, tapi apa itu? Aku kurang tahu.
           
“Mungkin aku bisa membantu menemukan kelasmu?” setidaknya itulah yang harus dilakukan seorang murid lama kepada murid baru yang tersesat ini. Kesan baik harus dibangun lebih awal bukan? Lagipula aku bukan tipe wanita galak seperti temanku, Ever.
           
            “Aku kebingungan mencari kelas Kimia?” lanjutnya.
           
            Ini bukan sebuah kebetulan kan ? Dia sekelas denganku. “Hari ini aku juga ada kelas Kimia. Kita bisa sama-sama kesana. Jika kau tidak keberatan?” tanyaku, sedikit canggung.

            “Tentu saja.” Ada sedikit jeda di kalimatnya. Aku lalu melangkah lebih dulu setelah sebelumnya melempar senyum canggung. “Kita belum sempat berkenalan, aku Luke Dashner.” Dia mengulurkan tangan dan tersenyum menawan.
           
            “Aku Kristin Struloef.” Aku berhasil mengatakannya juga. Tangannya yang menggenggam tanganku sangat kuat. Seperti ada aliran aneh dalam dirinya yang mengalir ke dalam tubuhku lewat sentuhan itu. Dan…
           
“Auu!!” Aku tidak tahu apa, tapi terlalu lama berjabatan tangan dengannya membuatku merasakan sebuah sengatan kecil menyakitkan. Dia bukan manusia listrik kan ?
           
            Aku menatapnya lebih teliti. Tidak ada yang aneh. Dia persis manusia. Hanya dengan beberapa keistimewaan saja. Rambut cokelat menutupi dahi dengan mata abu-abunya yang bening. Dia cowok yang luar biasa tampan dan punya senyuman menawan. Aku sangat menjamin, beberapa hari dia berada disini, pasti akan banyak anak perempuan yang langsung jatuh cinta padanya.
Tapi, tunggu dulu…
Pertanda apakah ini?
***
            Aku sedang sibuk mempelajari matematika dengan rumus tumpang tindihnya di buku, saat Mom berteriak memanggilku.
           
            “Kristin, bisakah aku keluar sebentar sayang ?” panggilnya dari ruang tamu. Tanpa pikir panjang, aku langsung melesat turun kebawah dan menghampiri Mom yang sedang berdiri di ambang pintu rumah.

            “Ada apa Mom ?” tanyaku.
           
            Mom lantas memandangku, lalu mengulurkan sebuah surat. “Ini surat untukmu. Sepertinya kau punya seorang penggemar sayang. Mungkin isi surat ini adalah pernyataan cinta.” Katanya, menggodaku.

            Aku tidak lantas menjawab ucapan Mom. Sekarang ini yang lebih menarik adalah isi surat itu. “Tidak juga, Mom. Aku bahkan tidak punya banyak teman.” Setelah mengatakan itu, aku langsung naik ke atas dan masuk ke dalam kamar.

ukup simple alasannya kenapa aku tidak ingin membuka surat itu di depan Mom, aku tidak mau Mom tahu apa isi surat itu. Jika ternyata pernyataan cinta dari seorang teman sekolah yang diam-diam memendam rasa padaku seperti yang dikatakan Mom, dia akan meledekku sepanjang malam. Aku tahu persis sifat Mom.

Malaikat itu mendatangimu
Malaikat itu melukaimu
Malaikat itu pergi

N .N


Aku terkejut, tentu saja. Well, ini gila. Siapa yang berani-beraninya mengirim surat ini padaku. Ini seperti sebuah ultimatum yang aku juga tidak tahu apa artinya. Akibat isi surat yang baru kubaca, aku jadi ketakutan sendiri.

Lalu, apa yang harus aku lakukan jika malaikat itu datang ? Aku memandang sekeliling. Kulihat jendela kamar masih terbuka, tanpa komando aku langsung beringsut menghampirinya dan menutup jendela rapat-rapat.

Mungkin lebih baik tidur, pikirku. Aku langsung berlari dan menerjang tempat tidur dengan liar. Tidak lupa aku juga menyelimuti tubuh secara keseluruhan dengan selimut. Aku yakin Mom akan tertawa terbahak-bahak jika melihat aksiku ini. Tapi ini adalah keadaan gawat darurat. Aku masih delapan belas tahun, aku bahkan belum pergi ke Prom. Aku tidak ingin mati dulu.

Entah bagaimana, mungkin karena kelelahan atau karena ketakutan aku akhirnya jatuh tertidur.

Tidurku awalnya cukup nyenyak dan aku bermimpi. Sesuatu yang jarang sekali terjadi padaku. Namun, itu bukan mimpi yang indah. Itu semacam mimpi yang mengerikan. Mimpi mengerikan yang sangat nyata.

Seorang malaikat datang menghampiriku. Tapi ada yang berbeda darinya. Sayapnya bukan putih bersinar seperti yang pernah diceritakan Mom saat aku masih kecil, melainkan hitam pekat. Dia terus melangkah mendekatiku, sementara diriku. Entah kenapa, aku kesakitan. Sakit yang luar biasa. Kaki dan tanganku rasanya kebas semua. Aku bahkan tidak mampu untuk sekedar berdiri. Apa-apaan ini ?

Malaikat itu semakin dekat kepadaku. Aku bisa merasakan sebuah gelombang kesedihan mendalam melandaku. Ini aneh! Apa yang sebenarnya ingin dilakukan malaikat itu ?

Samar-samar akhirnya aku bisa melihat wajahnya. Dia melempar senyum kepadaku. Menawan. Tapi, tunggu dulu…

Aku mengenalnya. Aku mengenal siapa malaikat itu. Dia, Luke. Iya, siswa baru pindahan dari London. Luke Dashner. Malaikat itu berhenti tepat di samping ranjang tidurku. Dia lalu menyentuh pipiku dengan tangannya. Sungguh konyol, tangannya sangat dingin dan menyakitkan.

Bangun… bangun… bangun… Kristin.

Entah ini hanya mimpi atau kenyataan. Dengan panik aku menyuruh diriku untuk segera bangun. Mengakhiri mimpi dan penderitaan ini. Aku sungguh kesakitan.

“Aku tidak akan menyakitimu, Kristin.” Katanya, menenangkanku yang sedang ketakutan.

Neville… Neville Noel… Neville Noel…
Neville… Neville… Neville…

Nama itu terus bergaung diotakku. Setelahnya mimpi itu akhirnya lenyap dan aku terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhku. Rasa sakit yang bukan main itu bahkan masih tersisa walaupun tidak terlalu.

“Neville Noel.” Kataku. Dia sungguh mirip dengan Luke. Mungkinkah itu Luke ?

Saat aku memandang sekeliling, tidak ada yang berubah. Syukurlah, itu hanya mimpi. Saat aku ingin beranjak dari tempat tidur, mataku menangkap secarik kertas yang berada di depan kaca riasku.
Malaikat itu datang lagi.
N . N

0 komentar:

Posting Komentar

 

Miss Romances Book Published @ 2014 by Ipietoon