Minggu, 16 November 2014

A Tear


     Tiga bulan ini dia berubah. Gadisku telah berubah. Rambut alisnya akhirnya rontok juga. Lengannya sangat kurus hingga hampir mau patah. Sesekali muncul senyuman tanpa tenaga yang sangat menyedihkan setiap aku datang menjenguknya.
     Tapi hari ini dia terlihat lebih menyedihkan dari hari-hari biasanya. Senyumnya tipis hingga terkesan transparan. Sungguh hatiku rasanya sakit saat melihatnya hanya bisa terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Tapi aku juga kagum padanya karena mempunyai tekad yang besar untuk bisa sembuh.
Aku berjalan mendekatinya, lalu menggeser kursi dan duduk. Senyum kembali mengembang di wajahnya. Sungguh, dia sangat hebat.
     “Apakah tidurmu nyenyak semalam ?” tanyaku.
     Sebagai jawaban, dia kembali tersenyum dan mengangguk. Aku menatapnya cukup lama, sampai akhirnya dia membuka mulut, hendak mengatakan sesuatu. Aku dengan sabar menunggunya bersuara.
     “Ayo kita menikah.” Katanya. Suara yang amat kecil tak bertenaga.
     “Benar, ayo menikah.” Kataku akhirnya. Mungkin inilah saat yang tepat. Membahagiakannya. Selama ini aku seperti hanya berperan sebagai orang yang tidak berguna. Duduk diam menungguinya yang jelas-jelas sedang bertarung menghadapi penyakitnya.
     Lagi pula usia pacaran kami lumayan lama. Sekitar 4 tahun. Cukup untuk mengenal satu sama lain. Jadi kurasa pernikahan adalah jalan terakhir menuju bahagia. Walaupun kondisi pacarku sedang tidak baik atau bias dibilang kritis, tapi aku akan tetap menerimanya.
     “Bagaimana kalau besok ? Atau lusa ?” aku memberi saran.
     Dia terlihat tidak setuju dengan pemilihan hari pernikahan kami. Sekarang wajahnya terlihat sedang berpikir. Lucu sekali.
     “Kita bahkan belum mempersiapkan apa-apa ?” katanya lagi.
     “Benar juga.” Aku tertawa. Mungkin aku terlalu gegabah dalam mengambil keputusan.
     “Aku ingin pernikahan kita sederhana saja.” Dia sedang berpikir. Atau mungkin sedang membayangkan bagaimana pesta pernikahan kami nanti. Wajahnya kembali menyinggungkan senyum. Sungguh, itu adalah senyum termanis yang pernah kulihat setelah sekian lama tidak muncul.
     “Baiklah. Aku akan mulai mempersiapkannya.” Sambungku.
     “Aku juga ingin menikah disini saja.”
     “Disini ? Dirumah sakit ?” ada sedikit kebimbangan dihatiku. Seharusnya dia memilih lokasi romantis untuk mengikrarkan janji suci. Tapi melihat keadaannya sekarang ini, aku yakin dia tidak akan sanggup.
     Dia kembali mengangguk. Dia tidak bisa terlalu membuka mulut, apalagi bicara. Tapi kali ini mungkin dia memaksakannya.
     “Jangan terlalu banyak bicara.” Nasehatku. Tapi nyatanya dia tidak mendengarkan nasehatku.
     “Seharusnya begitu. Hari ini aku senang.” Wajahnya memancarkan semuanya.
     “Aku juga.”
     Gadisku. Walaupun sedang sakit, tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkannya padaku dan kedua orang tuanya.
     “Kau hebat.” Itulah kalimat terakhir yang kuucapkan sebelum akhirnya dia mengatakan sedikit lelah, lalu menutup mata.
                                                                                     *
     Aku sedang berjalan menuju rumah sakit saat mataku menangkap sebuah gaun putih indah yang dipajang di etalase. Gaun sederhana tapi terkesan cantik. Mungkin jika gadisku yang memakainya, akan pas ditubuhnya. Ukurannya terlihat lebih kecil dari ukuran normal. Aku bahkan sudah mulai membayangkan betapa cantiknya pacarku saat mengenakannya.
     Semenjak keinginan pacarku untuk menikah, aku mulai mempersiapkan semuanya. Sepulang dari bekerja, aku selalu menyempatkan diri untuk bertemu temanku yang sudah lebih dulu menikah. Bertanya tentang ini dan itu yang kurasa belum kupahami.
     Sudah hampir sebulan ini aku mempersiapkan semuanya. Aku juga sudah mengundang teman-teman dan kerabat untuk menghadiri pernikahan kami. Memikirkan pernikahan kami saja, sudah membuatku senang sekali. Seperti ada banyak kupu-kupu dalam hatiku yang ingin keluar begitu saja dan terbang bebas.
     Walaupun keadaan pacarku belum menunjukkan tanda-tanda membaik, tapi dia tetap ingin menikah. Secepatnya. Orang tuanya pernah mengajakku mengobrol saat kami mengutarakan maksud kami untuk menikah. Aku masih sangat mengingatnya, saat ibu pacarku hanya bisa terisak-isak mendengar penjelasanku. Mungkin dia bahagia karena akhirnya kami bisa menikah.
     “Jaga anakku. Aku menyerahkan dia padamu. Aku berharap kalian bahagia.” Itulah kata-kata ayah pacarku yang masih lekat diingatanku.
     Saat itu aku sebenarnya juga ingin menangis karena terharu, tapi aku berusaha menahannya.
                                                                                    *
     “Hai” Sapaku padanya. Tapi tidak ada respon. Dia hanya menatapku, cukup lama.
     “Sudah minum obat ?” tanyaku.
     “Rasanya pahit.” Katanya dengan wajah murung.
     Sekarang bahkan rambutnya sudah mulai botak, sehingga mengharuskannya memakai topi. Entah sudah berapa lama dia menahan rasa sakit itu.
     “Kau pasti bisa.” Aku menyemangatinya sambil mengusap wajahnya. Bahkan wajahnya juga terlihat lebih tirus.
     “Aku ingin sembuh.” Katanya lagi.
     “Kau akan sembuh.” Aku kembali menyemangatinya. Ada perasaan malu jika aku melihatnya. Sebenarnya apa yang sedang kulakukan ini ?
     “Aku pergi ke toilet dulu.” Aku lalu beranjak dan langsung melangkah tanpa menunggunya merespon ucapanku. Rasanya aku ingin menangis.
     Setelah menutup pintu kamarnya, aku langsung berlari dan terus berlari. Berbelok kearah toilet laki-laki dan langsung menutupnya. Air mata tumpah saat akhirnya aku mencapai wastafel.
     Aku bercermin. Menatap bayangan diriku sendiri yang sedang mengeluarkan air mata. Sebenarnya apa yang sedang kulakukan ini ?
     Kembali pertanyaan itu muncul dipikiranku. Benar, sebenarnya apa yang sedang kulakukan ini ?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Miss Romances Book Published @ 2014 by Ipietoon