“Lebih baik pernah
memiliki sesuatu yang bagus lalu kehilangannya, atau tidak pernah memilikinya?”
(hlm. 94)
Judul : a Love at First Sight — cinta pada pandangan pertama
Nama Penulis : Jennifer E. Smith
Penyunting : Ikhdah Henny
Perancang Sampul : Reina S.
Ilustrasi Sampul : Shutterstock
Pemeriksaan Aksara : Neneng & Veronika Neni
Penerbit : Qanita
Penata Aksara : Gabriel
Tanggal Terbit : Januari 2013
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-9397-64-2
Book Blurd
“Mengingatkan kita tentang kekuatan
nasib dengan cara yang hangat dan menakjubkan… rangkaian tulisan yang dalam dan
menawan tentang bagaimana rasanya jatuh cinta.”
—The New York Times Book Review
“Kisah yang mendetail dan menyentuh
tentang cinta, serta keluarga… Pendalaman dari Smith membuat perasaan sakit
hati dan kehilangan yang dialami Handley menjadi begitu nyata, senyata
keajaiban jatuh cinta.”
—Kirkus
Handley Sullivan seperti mengalami mimpi buruk saat dia
ketinggalan pesawat ke London. Tapi Oliver, cowok Inggris yang keren, mengubah
kesialan Handley menjadi sebuah kisah romantis. Mereka bertemu di bandara,
secara kebetulan duduk bersebelahan dalam penerbangan susulan Handley.
Dimulailah bincang-bincang yang langsung mendekatkan keduanya : tentang Dickens,
kue pretzel, awan kumulus, hingga
pernikahan.
Setibanya di London, keduanya terpisah satu sama lain.
Namun, Handley telah merindukan Oliver dan bertekad untuk mencari cowok itu.
Permasalahannya, London bukanlah kota kecil, terlebih bertualang dengan kereta
bawah tanah dan menyusuri gang-gang tua tak dikenal bukanlah keahlian Handley.
Berhasilkah Handley menemukan cinta pertamanya?
My Reviews
“Siapa sangka empat menit bisa mengubah segalanya?”
(hlm. 10)
That right. Mungkin tidak empat menit, coba
kalau semenit saja, mungkin kita bisa terlambat sekolah. Atau yang lebih parah
ketinggalan kereta atau bus yang ingin kita tumpangi. Waktu itu sungguh
berarti, dan begitu juga yang dialami oleh Handley Sullivan —gadis Connecticut
berusia 18 tahun. Gara-gara percobaan kaburnya —dari acara pernikahan ayahnya.
Mulai dari menunda-nunda saat mencoba gaun sampai acara bukunya tertinggal,
mungkin dia tidak mengalami yang namanya menunggu penerbangan ulang setelah
tertinggal di penerbangan yang pertama.
Tapi untungnya,
ada seorang cowok Inggris keren —menurut saya sendiri, sebut saja namanya
Oliver, yang akhirnya menemaninya sepanjang penjalanan di dalam pesawat. Wah,
romantis kan?
Apalagi
cowok itu juga mau membawakan koper Handley. Well, itu tentu membuat Handley tidak akan bosan selama perjalanan
menuju London. Dan oh, selama 7 jam. Okay,
bisa kita bayangkan bagaimana jika kita sendiri harus berada di dalam pesawat
selama 7 jam dan tidak mengenal sisi kanan dan kiri kita? Membosankan, tentu
saja! Handley, kau sungguh beruntung bertemu Oliver, dan memang benar aku
sedikit iri denganmu.
Dan
mereka tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Mulai dari Dickens, kue
pretzel, awan cumulus, pernikahan hingga lalat yang mereka sebut sebagai “Si
Penumpang Gelap.”
Well, aku cukup senang dengan konfik
dalam cerita ini. Sebuah drama keluarga dalam balutan keromantisan yang membuat
saya senyum-senyum sendiri sepanjang membaca ceritanya. Handley juga mampu
mengajakku berkeliling London dengan gaun ungu lembutnya, menjelajahi kota
London untuk menemukan Oliver. Perjalanan yang menyenangkan, friend! Dan aku menikmatinya, really.
“Orang-orang
yang bertemu di bandara lebih mungkin jatuh cinta dengan presentase tujuh puluh
dua persen, daripada bertemu di tempat lain.” (hlm. 315)
Cinta
pada pandangan pertama? Sebenarnya kurang percaya apakah di dalam kehidupan
nyata memang ada, karena aku sendiri belum pernah mengalaminya. Tapi dengan
kehadiran Handley dan Oliver, membuatku setidaknya bisa merasakan bagaimana
rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Thank’s
Oliver and Handley, kalian memang pasangan yang sempurna!
Saya
sangat senang bisa bertemu dengan Oliver dan Handley dalam kisah cinta yang
dibalut keromantisan ini. Sungguh suguhan yang membuat hati rasanya melayang mengingat
setiap detail kejadian yang menimba Handley sebelum akhirnya bertemu untuk ketiga
kalinya dengan Oliver, lebih terpatnya tanpa segaja. Dan tentang kalimat di
akhir cerita yang diucapkan oleh Oliver, aku setuju.
“Tahu,
nggak, orang-orang yang bertemu pada setidaknya tiga kesempatan berbeda dalam
rentang dua puluh empat jam, sembilan puluh delapan persen berpeluang untuk
bertemu kembali?” (hlm. 316)
0 komentar:
Posting Komentar