Ada Tinta Dalam Cinta
Ketika kesalahpahaman menghancurkan
semuanya
[Diikutkan
dalam kontes fanfic The Chronicles of Audy Penerbit Haru]
Aku kembali melirik jam yang melingkar
di tanganku. Sudah pukul 1 siang. Pastinya dia sudah pulang. Aku lalu
melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah. Lebih tepatnya sekolah pacarku.
Dulu, saat aku menunggu disamping
gerbang sekolah, satpam sekolah pasti akan menghampiriku dan bertanya apa aku
sedang menjemput adik dan reaksiku hanya tersenyum. Ya mau bagaimana lagi, aku
tidak mungkin berkata sedang menunggu pacarku-kan? Bisa pingsan satpam
mendengar pengakuanku.
Anak-anak yang mengenakan seragam
abu-abu mulai terlihat menuju gerbang. Ada yang bercanda dengan teman-temannya,
ada yang diam saja dan mempercepat langkah, ada juga yang lari kejar-kejaran.
Namanya juga anak SMA, masih mateng-matengnya jadi remaja, kadang labil juga.
Diantara mereka semua, aku bisa melihat
pacarku. Dia memang sedikit lebih tinggi dari teman-temannya. Dan tentunya,
tampan. Walaupun dia masih duduk dibangku kelas dua belas, tapi sikapnya sudah
seperti orang dewasa. Dia memang agak kaku dan cuek sih, tapi aku menyukai
sikapnya itu.
“Hei!” sapaku. Oh iya, aku sampai lupa.
Aku belum memperkenalkan dia kepada kalian semua. Perkenalkan, dia—Rex.
Pacarku.
Dia cuek dan datar saat mendengar
sapaanku. Aku tidak kesal atau kecewa dengan resposnya, karena ya itu, aku
menyukai sikapnya. “Hei!”
Tapi sepertinya dia sedang muram atau
bisa dibilang hilang mood karena begitu dia membalas sapaanku, dia langsung
menutup telinganya dengan Headphone. Kalau sudah begitu, aku pasti akan
jadi patung berjalan disampingnya. Huh, inilah yang kadang membuatku kesal
sendiri.
“Ada apa lagi?” tanyaku sambil berusaha
mensejajarkan langkahku dengannya. Dia bisa dibilang cukup jangkung sehingga
membuatku capek sendiri jika harus mensejajarkan langkah dengannya. Padahal aku
sendiri juga cukup tinggi diantara teman-temanku, tapi tetap saja pendek
dihadapan Rex.
“Tidak. Cuma ada masalah.” Jawab Rex
datar.
“Mau cerita?” tawarku. Tapi dari raut
wajahnya saja, aku tahu dia tidak akan memberitahuku.
Dia lalu melepas Headphone-nya
dan berhenti, membuatku ikut berhenti. Dia menatapku cukup lama dan dalam.
Inilah pesonanya yang tidak bisa aku abaikan. Hanya menatapnya saja membuat
jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.
“Kau mau mendengarnya? Ini adalah salah
satu cerita yang membuat hatiku terluka.” Kata Rex akhirnya.
Kata-katanya sungguh dalam. Bukan
apa-apa, tapi selama satu tahun berpacaran dengannya, aku tidak pernah
mendengar dia pernah terluka. Dia kan cuek, jadi aku yakin dia akan menutup
telinga jika ada orang yang mengejeknya atau yang lainnya. Tapi ini lain,
mungkin lebih rumit dan berat baginya.
“Kau memiliku, kau juga harus membaginya
kepadaku.” Aku menyentuh lengannya. Memberi sedikit kekuatan untuknya, walaupun
kecil.
“Tidak selamanya, Dy. Aku takut.” Ucapnya
lirih. Hampir tidak terdengar olehku. Kata-katanya membuatku sakit. Sungguh.
Apalagi jika terucap dari bibir Rex—Pacarku.
“Kau tahu, kata-katamu itu menyakitiku.”
Balasku, sedih.
“Maaf, tapi cerita ini lebih
menyakitkanku. Lebih sakit dari sakitnya hatimu karena kata-kataku tadi.”
Setelah mengatakan itu, dalam diam dia mulai berjalan meninggalkanku.
Menyisakan satu pertanyaan dibenakku. Cerita apakah itu?
***
Sudah lebih dari satu minggu lamanya Rex
tidak menghubungiku. Argghh… ternyata laki-laki kalau sedang ngambek itu parah
ya! Perempuan saja mungkin tidak akan seperti itu.
“Kau baik-baik saja?” tanya
Regan—informanku. Dia bisa dibilang cukup tampan. Punya tubuh yang
proporsional, mata yang indah dan tentu saja senyum yang menawan. Benar-benar idaman
banyak wanita dan tentunya para ibu mertua. Apalagi dia juga sudah bekerja.
Kurang apa lagi coba! Tapi sayangnya, dia bukan tipe-ku.
“Tidak.” Kataku dengan malas. Akibat
sikap Rex yang tidak memberi kabar, membuat hidupku kacau. Skripsi-ku juga
ikut-ikutan kacau.
“Lagi marah-marahan ya?” tebak Regan.
Dan itu tepat sasaran. Satu lagi kelebihannya, bisa menebak isi hati perempuan.
Mungkin siapapun yang menjadi pacarnya, akan sangat bersyukur.
“Dia tidak memberi kabar.” Jawabku.
Regan terlihat mengangguk lalu tersenyum. Lagi-lagi senyum yang memesona.
“Kenapa tidak bertanya padanya?”
tanyanya lagi.
“Aku bahkan sudah mengirim puluhan sms
dan juga menelponnya. Tapi ponselnya tidak aktif.” Jawabku lemas. Aku lalu
mengacak-acak rambutku, frustasi. Audy, kau pasti sudah gila. Kenapa hanya
gara-gara anak putih abu-abu kau jadi begini.
“Mungkin dia sedang tidak ingin
diganggu.” Kata Regan lagi. Sungguh, kata-katanya bisa menenangkan hatiku yang
sedang hancur ini. Andai saja, dia jadi pacarku. Mungkin aku tidak akan
menderita seperti ini. Ehh… maaf, aku sedang gelantur.
“Gara-gara dia skripsiku hancur.
Skripsiku~” Aku akhirnya menangis juga. Aku sudah tidak bisa lagi menahan air
mata ini. Aku sudah tidak memperdulikan lagi tatapan orang-orang yang berada di
kafe ini.
“Hei! Kau menangis?” tanya Regan panik.
Bahkan dia bisa panik dan cemas. Dasar Rex! Apa yang merasukinya hingga dia
bisa membuatku seperti ini!
Aku hanya bisa mengangguk dan terus
menunduk.
“Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik
saja. Menangislah jika memang itu bisa membuat hatimu tenang dan lega.” Kata
Regan lirih sambil menepuk bahuku pelan. Dia terus melakukan itu. Menepuk
bahuku pelan sampai rasa marah dan kecewaku reda.
***
Aku tidak bisa membiarkan ini
berlarut-larut. Tidak dengan anak berseragam putih abu-abu. Hari ini aku akan
menyelesaikannya. Aku menarik nafas dalam, lalu melangkah menuju gerbang
sekolah Rex. Pasti kalian sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Yup, menemui
Rex disekolahnya.
Ini sebenarnya adalah hal yang sangat
tidak aku inginkan. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tidak tahu dimana rumah Rex.
Aku akan menemuinya sebagai kakak perempuannya dan menyuruhnya untuk keluar.
Lalu, aku akan membawanya ke tempat yang lebih sepi dan kami bisa bicara.
Rencana yang matang, bukan?
Aku lalu melangkah menuju kelas Rex.
Sepertinya tidak ada guru yang mengajar karena kegaduhan terdengar saat aku
tiba di pintu kelas Rex. Seketika aku langsung mengenali Rex yang sedang duduk
dibangku paling belakang. Dia terlihat sedang tidur. Hal yang tidak kuketahui
sebelumnya.
Mungkin karena terlalu lama menatap Rex,
seorang gadis menghampiriku dengan tatapan heran. Mungkin heran melihat orang
asing datang ke sekolahnya.
“Kakak sedang mencari siapa?” tanya
gadis berambut sebahu itu.
“Ahh, bisa kau panggil Rex untukku?”
kataku dengan suara semanis mungkin. Aku harus terlihat baik didepannya agar
dia mau memanggilkan Rex.
“Kakak siapa?” tanya gadis itu lagi.
Sekarang bahkan dia melirik penampilanku. Ahh, tidak...maksudku memandang dari
atas sampai bawah seperti sedang melihat seorang gelandangan. Memang apa yang
salah dengan bajuku?
Aku menatap bajuku. Dan detik itu juga
aku menyesali kedatanganku ke sekolah Rex. Aku tidak ubahnya seorang pengemis.
Malahan bisa dibilang cukup mengerikan untuk dilihat. Aku hanya memakai celana
pendek, kaus oblong dan jaket kumal yang entah sudah berapa lama belum aku
cuci. Argghh… pantas saja tadi satpam yang ada di depan gerbang menatapku heran
sampai terbengong-bengong.
“Aku kakak perempuan Rex. Jadi bisa kau
panggil Rex sekarang?” tanyaku lagi. Aku tidak ingin berlama-lama berada
disini. Ini sih namanya menjeburkan diri ke lubang buaya. AUDY!!! Kau pasti
sudah gila. GILA!!!
“Tapi setahuku Rex tidak punya kakak
perempuan.” Lagi-lagi gadis itu terus bertanya. Aduh butuh perjuangan hanya
untuk bertemu dengan Rex. Sebenarnya dia itu siapa sih! Presiden!
“Hei! Sebenarnya kau mau memanggilkannya
tidak sih?” teriakku padanya. Habis sudah kesabaranku menghadapi kepo-annya
yang tidak ada habisnya.
Dari tatapannya, aku tahu dia ketakutan
dan langsung berlari menghampiri Rex yang sedang tertidur. Tidak lupa dia juga
membangunkan Rex yang langsung mendapat tatapan dingin dari Rex. Setelah
menjelaskan kepada Rex tentang kedatanganku, otomatis mata Rex menatap kearah
pintu, tempat aku berdiri. Lalu dengan malas, dia mulai melangkah
menghampiriku.
“Kenapa?” tanya Rex malas, masih dengan
mata mengantuk.
“Kau tanya kenapa setelah apa yang kau
perbuat selama seminggu ini?” teriakku histeris. Aku sudah menyiapkan beribu
pertanyaan dan lontaran serta makian yang siap meledak. Aku sudah tidak sabar
melihat perubahan raut wajahnya.
“Kamu tidur sambil berjalan ya?” dia
tidak menghiraukan perkataanku dan malah mengajukan pertanyaan lainnya. Huh…
anak ini memang tidak peka.
“Kalau iya, memangnya sekarang penting.”
Teriakku lagi.
“Pantas. Wajahmu terlihat berminyak.”
Rex lalu menuntunku kearah wastafel yang ada di depan setiap kelas. Lalu dengan
sabar dia membasuh wajahku lembut. Aku hampir terpesona dengan perlakuannya dan
melupakan aksi marahku. Hampir saja.
Setelah sadar, aku lalu menangkis tangan
Rex yang akan kembali membasuh wajahku. “Apa yang kau lakukan sekarang Rex?”
tanyaku dengan suara yang tidak lagi meninggi.
“Aku hanya ingin memperbaiki hubungan
kita.” Kata Rex akhirnya. Dia menurunkan tangannya dan memandangku dalam. Apa
yang sebenarnya terjadi Rex? Kau kenapa?
“Kenapa dengan hubungan kita? Bukankah
hubungan kita baik-baik saja?” Kataku tidak mengerti dengan ucapannya barusan.
“Hubungan kita tidak sedang baik-baik
saja. Hubungan kita ada di ujung jurang. Ada tinta yang mencoreng indahnya
warna merah.” Kata Rex sambil menerawang jauh.
“Apa maksudmu Rex?” tanyaku lagi.
Sekarang ini aku sangat penasaran dengan kata-kata Rex yang terlalu tinggi
untuk bisa dimengerti.
“Bagaimana kalau warna merah yang indah
tiba-tiba tercampur oleh tinta hitam. Apakah warna merah itu akan tetap menjadi
merah menyala. Atau akan bercampur dengan warna hitam dan menghilangkan warna
merah itu sendiri?” tanya Rex lagi.
“Rex—” hanya kata itu yang bisa aku
ucapkan. Lidahku rasanya kelu untuk mengatakan hal lainnya. Banyak firasat
buruk yang hinggap dibenakku. Tapi aku takut, aku takut jika memikirkannya
sedetik saja, firasat itu akan menjadi kenyataan.
“Aku takut, Dy.” Kata Rex dengan suara
lirih. Detik berikutnya yang kutahu adalah Rex meninggalkan aku lagi. Lagi. Dan
hanya punggungnya yang lagi-lagi kulihat. Kenapa selalu seperti ini Rex?
Kenapa hanya punggungmu yang menyedihkan saja yang selalu aku lihat? Kenapa?
Lalu kemana senyummu yang dulu? Senyum yang hanya kau berikan padaku.
***
Ughh..aku kangen Rex^^ Btw...kamu udah punya seri keduanya?
BalasHapus