Ini
adalah pertama kalinya saya menjadi Fist Chapters Commentator. Dan dari
penggalan cerita yang berisi 17 halaman — yang bagi saya kurang itu, sudah
membuat saya semakin penasaran dengan isi cerita lengkapnya. Jujur, ide-nya
bisa dibilang unik dan langka. Nggak nyangka ada ide cerita yang seperti ini.
Penulis membuat cerita yang langsung to-the-point dan menyentak saya
tentunya.
Gaya
bahasanya sederhana dan sangat mirip dengan gaya bahasa beberapa buku
terjemahan. Dan saya memang sangat menyukai gaya bahasa yang seperti ini. Tidak
bertele-tele dan mudah dipahami. Dan aku juga menyukai setiap alur cerita yang
mengalir pelan tapi pasti dalam penggalannya. I Like It, Really. Dan aku
sempat meneteskan airmata karena aku juga bisa merasakan bagaimana rasanya Ally
kehilangan Albert.
Semuanya
terasa wajar saat di awal cerita, akan tetapi, yang membuatnya terasa berbeda
adalah saat Ally mulai mengalami Ketidakberadaan. Di sanalah rasa penasaran
saya diuji karena cerita Arleen A tidak akan seringan itu. Ia selalu menuturkan
sebuah bahasan yang gila. Yang sesungguhnya tidak hanya berdampak kepada saya
saja mungkin kalangan pembaca remaja, dan nyaris kalangan pembaca dewasa akan
mengalaminya juga.
Dari
sederet hal yang menarik, poin-poin yang paling bisa saya petik dari “Ally—All
These Lives” pastinya ada pada permainan sifat penokohannya, latarnya yang luar
biasa menginspirasi dan sebuah peristiwa yang absurd yang sulit
diuraikan dengan logika.
“This story is not just about love but
also loss, lives and absence.” —Me
0 komentar:
Posting Komentar