"Diikutkan untuk Ramadhan
Giveaway dengan tema [Friendzone]."
Kutetapkan hati, lalu melangkah mantap
menuju pintu belakang rumah milik sahabatku, Emma. Pintu itu sudah terlalu
reot, jadi aku bisa dengan mudah membukanya. Dari dulu sampai sekarang aku
memang sudah terbiasa datang ke rumah Emma melalui pintu belakang. Begitu pintu
terbuka, pemandangan yang selalu membuatku gembira terpampang jelas
dihadapanku.
Sebuah taman.
Taman kecil dengan kolam renang di
sampingnya. Itulah alasan kenapa aku selalu datang melalui pintu belakang.
Biasanya ketika aku datang, Emma selalu ada disana. Entah sedang melamun,
membaca buku, atau sekedar mendengarkan musik. Aku tahu Emma sangatlah menyukai
taman kecil ini, begitu juga denganku. Kadang, aku akan memanjat pohon besar
lalu mulai mengerjai Emma. Tapi itu dulu, saat kami masih kecil. Sekarang, aku
hanya bisa menatap pohon itu saja.
Kali ini Emma tidak ada. Tidak biasanya
jam segini dia tidak ada di taman. Kulangkahkan kaki menuju sebuah ayunan kecil
yang masih terawat padahal itu adalah permainan Emma waktu kecil. Aku duduk
disana sambil menunggu Emma. Aku yakin gadis itu sebentar lagi akan datang.
Dan dugaanku benar, dari arah dapur
kudengar senandung lagu yang di nyanyikan seseorang. Aku tahu itu Emma dari
kepayahannya saat bernyanyi. Dia tampak menikmati alunan lagu yang didengarnya
dari headsetyang menempel di
telinganya tanpa menyadari kehadiranku. Begitu mendekat kearahku barulah dia
terlonjak kaget.
“Ngagetin orang aja. Kebiasaan deh.”
Ucapnya sebal. Bibirnya mengerucut, membuatnya semakin cantik. Dia melangkah
mendekat dan duduk disebelahku.
“Itu udah tahu.” Balasku asal.
“Kok aku nggak denger suara montormu
sih? Jalan kaki?” tanya Emma dengan wajah polosnya. Aku sempat heran dengan
wajah polosnya itu, dari kecil sampai dewasa tetap saja masih ada.
“Nggak denger kali. Kamu kan pakai headset.” Kutatap Emma yang hanya
mengangguk setuju. Dia kembali bersenandung seolah tidak menghiraukan suara
cempengnya yang khas menyebar kesegala penjuru.
Kutatap Emma lagi, kali ini lebih lama.
Aku ingin mengatakan sesuatu padanya, sayangnya aku belum yakin bisa. Tapi
sampai kapan pula aku akan memendam perasaan ini. Sudah sejak lama aku ingin
mengatakannya meskipunselalu tertahan. Sebab aku belum yakin dan juga takut.
Takut jika harus mendengar jawaban yang tidak aku sukai keluar dari mulutnya. Kali
ini aku akan mencoba, aku tidak mau terus di hantui rasa penasaran. Aku
memantapkan hati lagi. Aku harus mengatakannya sebelum terlambat.
“Em, aku mau bilang sesuatu nih.” Ucapku
pelan. Kuharap dia tidak mendengarkan saja, jadi aku tidak akan meneruskannya
dan memilih topik yang lainnya. Tapi dugaanku salah, Emma mendengarnya. Dia
lantas menatapku dengan alis berkerut, cukup kaget mungkin dengan bahasa formal
yang kugunakan.
“Nggak usah formal juga kali, Don. Kayak
mau nyatain cinta aja.” Balas Emma. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi bagiku
itu tidak lucu sama sekali. Yang dikatakan Emma benar. Aku memang ingin
menyatakan cinta.
“Em, aku suka sama seseorang.” Kataku
akhirnya. Aku menatap tepat di matanya. Mencari-cari gelagat yang mungkin akan
ditunjukkannya padaku. Tertawa mungkin. Tapi tidak ada, aku tidak menemukannya.
“Kamu suka sama seseorang, siapa?” Emma
menatapku tidak percaya. Aku maklum dengan tatapannya itu karena aku memang
jarang sekali bergaul dengan perempuan kecuali Emma, jadi aku yakin saat akan
mengatakannya pasti ekspresi Emma seakan-akan tidak percaya. “Aku kira kamu
nggak suka perempuan.” Lanjutnya.
“Aku masih laki-laki normal, Em.”
“Jadi, siapa perempuan yang beruntung
itu?” tatapan Emma membuat nyaliku untuk berucap sirna. Dia menatapku dengan
tatapan yang tidak bisa kujelaskan. Bahagia, lebih tepatnya.
“Di—”
“Tunggu!” belum juga kuselesaikan
perkataanku, Emma sudah menyelanya. Aku hampir kesal dibuatnya. “Aku juga punya
kabar gembira buat kamu?” wajahnya berbinar-binar dan aku tahu Emma sedang
sangat senang.
“Apa?” kuurungkan niatku untuk
mengutarakan perasaan. Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya, jadi lebih baik
dia dulu saja yang mengatakan kabar bahagia itu. Tapi setelahnya aku menyesali
keputusanku, seharusnya aku saja yang mengatakannya duluan bukan Emma.
“Dino nembak aku kemarin.” Aku
terperangah, nyaris terjatuh kalau saja kakiku tidak menopang tubuhku dengan
benar. Aku sudah menduga kalau Dino juga menyukai Emma, tapi aku tidak tahu
kalau dia selangkah lebih cepat dariku.
“Lalu?” aku mencoba untuk tidak merasa
kecewa, tapi dari nada bicaraku yang ketus, aku tahu aku tidak bisa
menyembunyikannya.
“Ya aku terima dong! Aku kan emang udah
lama suka sama dia. Kupikir cuma aku aja yang diam-diam suka, ternyata dia juga
membalas cintaku.” balasnya cepat. Emma kembali tersenyum, kali ini dua kali
lipat lebih lebar dari yang biasanya dia tunjukkan padaku. Hatiku langsung
hancur. Dadaku sesak seperti banyak jarum yang menancap disana. Kata-kata yang
kuuntai sejak perjalanan ke rumah Emma lenyap sudah, “Oh iya, kamu tadi mau
bilang apa, Don?”
Aku terdiam. Cukup lama. Mampukah aku
mengatakannya setelah mendengar kabar buruk itu? Aku memejamkan mata sejenak,
lalu mulai mengacak rambut frustasi.
“Doni…” kudengar Emma memanggilku.
Mungkin kebingungan dengan tingkah yang kutunjukkan padanya.
Kutatap lagi Emma. Aku harus
mengatakannya, entah bagaimana nanti reaksinya. Paling tidak aku sudah
mengatakannya. Urusan ditolak itu belakangan. Yang penting Emma mengetahui
perasaanku. Rasanya itu sudah cukup. Aku menarik napas sejenak, mengumpulkan
keberanian untuk mengatakannya.
“Aku suka sam—” belum juga kalimatku
terucap lengkap, dari dalam rumah terdengar suara seseorang berteriak-teriak
memanggil Emma. Emma mengalihkan pandangan dariku ke arah rumah dengan tatapan
bingung.
“Emma…” suara itu lagi. Kali ini lebih
jelas dan aku tahu siapa pemilik suara barithon itu. Dia kakak kembaranku,
Dino.
“Em, aku belum selesai bicara. Dengarkan
aku dulu, baru kamu bisa menemui kakakku.” Aku memohon kepada Emma, tapi
kulihat Emma bergeming dan beranjak dari duduknya. Aku mencoba menahannya, tapi
percuma.
“Nanti saja ngomongnya ya! Sekarang aku
temui kakak kamu dulu.” Emma lantas berlari dan meninggalkanku yang kembali
hancur. Belum juga aku mengutarakan perasaan, Emma sudah pergi. Meskipun
begitu, aku masih bisa mendengar percakapan antara Dino dan Emma.
“Ada apa, No?” tanya Emma. Dino datang
dengan wajah lesu. Tatapan matanya menyiratkan kekhawatiran dan kesakitan yang
mendalam.
“Doni, Em. Doni.” Kakakku berteriak
frustasi. Beberapa kali kulihat dia menjambak rambutnya.
“Doni kenapa?” raut wajah Emma semakin
bingung. Mungkin bingung dengan perkataan kakakku, karena yang Emma tahu, aku
dari tadi bersamanya.
“Doni
kecelakaan sejam yang lalu sewaktu berangkat ke rumahmu. Dia meninggal
ditempat, Em.” Kata-kata yang kutakutkan meluncur juga dari mulut kakakku. Dino
lalu roboh dan menangis.
“Kamu
bercanda, kan? Doni dari tadi sama aku, No.” ucap Emma. Dia menunduk dan
menatap kakakku yang terus saja terisak, minta penjelasan.
“Buat
apa aku mengada-ada berita buruk ini, Em.” Emma ikut roboh di samping Dino.
Matanya lalu menatapku yang sepertinya sudah hampir menghilang.
“Nggak,
nggak mungkin, No. Tadi dia sama aku. Dia ada disana,” Emma menunjuk ke arah
ayunan, dimana aku berada. “ Tadi dia disana.” Kemudian Emma terisak dan
bangkit tergesa-gesa melangkah ke arahku.
Dia
terlonjak kaget. Dia tidak menemukanku. Tentu saja karena tubuhku mulai
memudar. Kali ini tangisnya pecah, dia terisak-isak di dekapan kakakku.
“Seharusnya
aku tadi mendengarkannya, No. Tadi dia ingin mengatakan sesuatu.” Ucap Emma
disela-sela tangisnya.
Aku
menatap Emma, sebelum pergi aku harus mengatakannya. Sebelum tubuhku
benar-benar lenyap, aku harus mengatakannya. Walaupun mungkin dia tidak
mendengar ucapanku, paling tidak aku sudah mengatakannya. “Aku suka kamu, Em.”Kataku
akhirnya.
0 komentar:
Posting Komentar