"Diikutkan
untuk Ramadhan Giveaway dengan tema [Find
the Right]."
Aku terbangun saat merasakan gatal di sekujur tubuh.
Dan saat membuka mata, aku tahu ada yang berbeda. Aku tidak berada di kamarku.
Setelah mengedarkan pandangan, aku ternyata ada di hutan. Dan aku sedang
berbaring di semak-semak dengan rumput liar yang terus menggesek kulitku.
Pantas saja aku merasa gatal, pikirku.
Tunggu dulu…
Hutan. Aku tercengang, masih tidak percaya dengan
apa yang sedang terjadi padaku. Beberapa kali aku mengucek mata untuk
menyadarkanku kalau ini pasti salah. Tapi percuma saja, ini benar-benar nyata.
Padahal seingatku aku baru saja tertidur di ranjang kamarku. Tapi sekarang apa
ini ?
Berbagai spekulasi berputar di otakku. Aku menatap
ke sekeliling lagi. Sunyi. Itulah gambaran yang kutangkap setelah beberapa kali
aku mencoba diam, menunggu barang kali ada gerakan-gerakan kecil yang
menandakan adanya kehidupan di hutan ini. Tapi nihil. Tiba-tiba rasa takut
mendera hatiku. Aku selalu takut sendiri, apalagi dalam kegelapan malam yang
pekat di hutan. Ini pasti mimpi, pikirku lagi. Tapi rasanya tetap aneh, karena
jelas-jelas ini nyata. Aku nyata, aku bisa merasakan debaran jantung yang kian
memompa cepat dan siap meledak kapan saja.
Baiklah, sekarang tenang dan pikirkan jalan
keluarnya, pintaku pada diri sendiri. Mungkin sebaiknya aku menunggu sampai
fajar terbit, tapi apa yang kulakukan selama menunggu fajar. Diam dan menunggu
datangnya ajal. Memang hutan ini sunyi, nyaris tidak ada penghuni. Tapi aku
yakin banyak makhluk aneh yang mungkin mengintai dari kegelapan. Memikirkannya
saja membuat bulu kuduk-ku merinding.
Aku tidak boleh terus disini, perintahku. Dengan
cepat, aku bangkit dan membersihkan rumput-rumput yang menempel di baju dan
lenganku yang tidak terbungkus pakaian. Perlahan tapi pasti aku mulai menyusuri
area hutan yang benar-benar asing bagiku dengan rasa takut yang semakin
membuncah. Aku bingung dan terus menajamkan telinga untuk menangkap bunyi-bunyi
sekecil apapun untuk mengetahui dimana sebenarnya aku ini.
Setelah berjalan agak jauh, aku akhirnya mendengar
suara. Seperti orang yang sedang bercakap-cakap. Walau agak jauh, aku masih
bisa mendengarnya karena keadaan hutan ini yang sunyi. Dengan cepat aku mencari
sumber suara. Siapa tahu suara itu adalah para penjelajah hutan yang sedang
berkemah. Rasa lega langsung membanjiri tubuhku, membuatku semakin mempercepat
langkah.
Tapi sayangnya apa yang aku pikirkan tidaklah benar.
Sebaliknya, pemandangan yang sedang kulihat itu sungguh mengerikan. Ada
beberapa orang yang sedang mengelilingi sebuah panggung kecil yang berada di tengah-tengah
mereka. Seorang laki-laki dengan kepala menunduk, berada di panggung kecil itu
sendiri. Wajahnya tidak kentara, tapi aku merasa aku mengenalnya. Tapi, bukan
itu yang mengerikan, melainkan di punggung mereka, tumbuh semacam tulang lebar
dengan bulu-bulu halus, mirip seperti sayap. Warnanya hitam pekat dan besar.
Menakutkan, pikirku saat pertama kali melihatnya.
Samar-samar kudengar seseorang dengan mata merah dan
sayap yang lebih besar dan lebar dari yang lainnya sedang berbicara dengan
suara lantang, menatap lurus ke arah laki-laki yang sedang tertunduk di atas
panggung.
“Kau tahu, Ric. Kau itu pembangkang. Kau tahu apa
resiko dari semua yang kau lakukan itu?”
“Ayah…” balas laki-laki bernama Ric itu pelan tapi
menyayat hati.
“Jangan pernah sebut aku ayahmu lagi, Ric. Semua
Ras-ku dan keluargaku tidak ada yang pernah membangkang sepertimu,” geram ayah
Ric.
Aku hanya bisa bersembunyi dibalik pohon besar tak
jauh dari mereka. Aku hanya penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada
Ric. Entah kenapa, kakiku rasanya sulit untuk bergerak menjauh dan hanya bisa
terpaku di tempatku sekarang. Aku sebenarnya tidak ingin berurusan dengan
makhluk aneh seperti mereka yang punya sayap, tapi hati kecilku mengatakan aku
harus bertahan.
“Manusia tidak abadi, Ric. Tapi kita abadi, kita
bisa hidup selamanya.” Ayah Ric terdengar mulai melembut, dia mencoba untuk
kembali membujuk anaknya.
“Tapi manusia punya perasaan, manusia punya cinta.
Dan aku sudah merasakannya, ayah.” Balas Ric terus menunduk. Aku yakin dia
sangat menghormati ayahnya, makanya dia berusaha untuk tidak bertatapan
langsung dengan mata ayahnya yang sedang murka itu.
“Apa yang kau dapat dari cinta, huh? Kau hanya akan
terluka, Ric. Tidak ada cinta yang abadi di dalam dunia manusia.” Ayahnya
kembali naik pitam. Suaranya naik beberapa oktaf.
“Tapi perasaanku akan tetap abadi ayah. Perasaan
ingin menyayangi dan melindungi seseorang yang aku cintai. Aku yakin ayah pasti
mengerti.” Jelas Ric.
“Ayah tidak pernah mempercayai apapun yang
menyangkut manusia.” Ucap ayah Ric mantap.
Aku berusaha untuk tetap diam dan tidak terlihat
oleh mereka. Tapi rasanya sia-sia saja, karena tanpa kudunga, sebuah tangan
kokoh sudah menyeretku mendekati mereka berdua dan gerombolannya. Dan ketika
pikiranku kembali sadar, aku sudah berada di atas panggung bersama dengan
laki-laki bernama Ric. Dari dekat, aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Dia
tampan : hidung mancung, tulang pipi yang tajam dan bibir penuh. Matanya
berbentuk buah badam dan memiliki warna biru kehijauan yang tajam dengan garis
mata jelas di bawah sepasang alis tebal, sangat kontras dengan kulit pucatnya.
Aku terpana sesaat sebelum akhirnya di kagetkan dengan suara menggelegar Ayah
Ric.
“Jadi dia manusia yang sudah membuatmu membangkang?”
tanya Ayah Ric, tatapannya tajam dan menusuk saat aku balas menatapnya.
“Dia tidak pernah terlibat apapun, Ayah. Jangan
pernah menyakitinya.” Suara Ric meninggi.
Aku mengenal suara ini. Suara yang selalu kudengar
setiap hari. Suara yang selalu membuatku merasakan desiran aneh di dada setiap
kali mendengarnya. Ini suara…
Kesadaranku kembali pulih ketika suara menggelegar
itu muncul lagi, “Kau pilih dia atau ayah?” tanya ayah Ric. Kali ini tidak ada
tatapan lembut di matanya, yang ada hanyalah amarah.
“Aku ingin mengenal manusia. Aku ingin hidup di antara
mereka, terumata untuk orang yang kusayang.” Wajah Ric menghadapku saat
mengatakan itu. Dan aku terpaku. Aku mengenal tatapan lembut itu. Tatapan penuh
kasih dan sayang yang selalu kulihat. Tidak mungkin…
“Baiklah, kalau itu maumu. Aku tidak akan pernah
mengampunimu. Dan aku akan menghukum kalian berdua.” Aku menatap ayah Ric
dengan ketakutan yang tak bisa kusembunyikan.
“Ayah…” Ric bergerak dan berlutut di bawah tubuh
ayahnya, “Aku mohon ayah. Jangan pernah sakiti dia. Hukum aku saja. Dia tidak
tahu apa-apa.”
“Kalau begitu, lepaskan sayapmu.” Tantang ayahnya.
Aku hanya bisa menonton dengan pandangan ketakutan.
Melepaskan sayap? Itu berarti, Ric akan kehilangan bagian dari tubuhnya. Dan
aku yakin itu akan sangat menyakitkan.
Dengan takut-takut, aku mencoba berbicara, “Ric…”
Dia menoleh dan menatapku dengan senyuman, “tidak
apa-apa, aku akan baik-baik saja.” katanya.
Setelah itu pemandangan yang lebih mengerikan
menghujam hatiku, menyayat dan merobeknya dengan kecepatan kilat. Aku ingin
sekali menghentikan semua ini, atau paling tidak mencegah Ric melakukan sesuatu
yang mengerikan. Tapi laki-laki itu bergeming. Dia tetap berlutut dihadapan
ayahnya, sementara makhluk-makhluk aneh dengan tubuh kerdil serta sayap yang
lebih mengerikan mulai bermunculan dari kegelapan.
Masing-masing dari mereka membawa senjata tajam
bergerigi. Dan dalam sekejap, tubuh Ric sudah dikerubungi oleh makhluk-makhluk
aneh itu. Dengan cekatan mereka mulai memangkas sayap Ric, menyebabkan bulu
hitam pekatnya beterbangan di udara. Setelah itu, darah mulai meleleh dan
menjadi genangan besar seiring dengan sayapnya yang mulai terkulai. Tapi Ric
tidak berontak. Dia hanya terus menunduk dengan mata terpejam.
Selama itu terjadi, entah kenapa aku kesakitan.
Sakit yang luar biasa. Kaki dan tanganku rasanya kebas semua. Aku bahkan tidak
mampu untuk sekedar berdiri. Aku bisa merasakan sebuah gelombang kesedihan
mendalam melandaku, seperti aku memang memiliki ikatan kuat dengan Ric. Dia
kesakitan, begitu juga denganku.
“Ric…” panggilku dengan suara tercekat. Rasa sakit
ini sungguh tidak tertahankan. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana
meredakan rasa sakit yang tiba-tiba menerpa tubuhku.
Kulihat dia menoleh ke arahku, tatapannya
menyiratkan keterkejutan. Lalu dengan tatapan murka, dia menatap ayahnya. “Apa
yang ayah lakukan padanya? Sudah kubilang untuk tidak menghukumnya.”
“Kau bodoh, Ric. Dia sudah terikat denganmu. Jadi
konsekuensinya, dia juga akan merasakan rasa sakit yang sama seperti yang kau
rasakan.” Lalu tatapan ayahnya mengarah kepadaku, iba. “Tapi sayang sekali, dia
akan merasakan sakit itu selamanya. Tanpa sadar, kau melukainya Ric. Bukan
ayah. Ayah sudah menahanmu untuk tidak melakukannya, tapi kau menolaknya. Dan
itu adalah resiko yang harus dia tanggung. Kasihan sekali kau, nak.”
Aku membeku. Terlalu terguncang atas semua kenyataan
yang akan aku hadapi ini. Rasa sakit itu belum juga hilang, malahan semakin
menjadi-jadi. Aku terisak atas rasa sakit yang tidak pernah aku rasakan selama
ini. Dan tiba-tiba, semua menggelap.
***
“Aaaghh!!” aku terlonjak dari tidurku. Dadaku sesak.
Jantungku memompa darah begitu cepat, sementara napasku terengah-engah.
Pandanganku kabur oleh air mata yang mulai berjatuhan di pipi. Sekujur tubuhku
rasanya sakit semua, rasanya sama seperti yang ada di mimpi. Susah payah aku
menggerakkan tangan serta kaki, tapi percuma. Semuanya sakit dan semakin aku
berusaha untuk menggerakkan tangan dan seluruh tubuh, rasa sakit itu semakin
menjadi-jadi.
Mimpi itu lagi. Mimpi yang sangat nyata. Dadaku
sakit, rasa takut mulai menjalar di sekujur tubuhku. Sementara aku mengatur
napas panjang-panjang, sebuah tangan kokoh memegangku. Aku terlonjak kaget,
hampir memekik seandainya aku tidak mengenal siapa pemilik tangan kokoh itu. Ric,
suamiku.
“Mimpi itu lagi?” tanyanya, cemas.
“Itu sudah konsekuensi yang harus aku hadapi.”
Ucapku, menenangkannya. Walaupun rasa sakit itu belum juga hilang, tapi aku
berusaha untuk tenang dihadapan Ric. Aku hanya tidak ingin membuatnya semakin
cemas dan terluka.
“Tapi kau selalu kesakitan. Kau menanggung semuanya
atas perbuatanku. Ini tidak adil.” Ucapnya lagi. Dia lalu mengulurkan
tangannya, dan merengkuhku dalam pelukannya.
“Itu adil, Ric. Kau mengorbankan sayapmu, bagian
dari tubuhmu yang paling berharga untuk bisa hidup denganku, dan sekarang aku
mendapatkanmu. Rasa sakit ini tidak berarti apa-apa bagiku, Sayang.” Kubalas
pelukannya dengan hati-hati agar rasa sakit di tubuhku tidak bertambah parah.
Dalam pelukannya, aku selalu merasa nyaman. Aku selalu merasa terlindungi jika
berada disamping Ric.
“Kau akan kesakitan selamanya. Aku tidak ingin ini
terus terjadi.” Ric melepaskan pelukannya dan menatapku penuh luka. Aku tahu
sebenarnya dia merasa bersalah atas apa yang menimpaku.
Kutatap dia dan tersenyum, “Kita sudah bersatu. Kau
ada disini, dan itu cukup untukku. Untuk membuatku bahagia.”
0 komentar:
Posting Komentar