"Diikutkan untuk Ramadhan
Giveaway dengan tema [Friendzone]."
“Bantuin gue dong, Nes?” pinta Raka
tanpa basa-basi saat dia datang setelah telat hampir setengah jam yang
membuatku dongkol setengah mati. Padahal dia sendiri yang minta ketemuan, tapi
dia yang telat.
“Apa?” tanyaku malas tanpa memandang ke
arahnya. Aku sudah terlalu malas untuk berbicara pada anak yang satu ini.
Kenapa dulu aku bisa berteman dengannya sih?
“Bantuin gue buat bisa deket sama Nina.
Lo tau Nina kan?” jawabnya enteng. Tidak menyadari keenggananku untuk
membantunya. Aku tersedak dan batuk-batuk. Aku tidak salah dengar-kan? Bantuin
apa? Bantuin dia buat bisa deket sama Nina?
Aku melotot ke arahnya yang hanya di balasnya
dengan cengiran lebar. Heran deh sama ini anak, dia nggak pernah peka kapan
orang marah, sedih, atau lagi bahagia. “Nggak-ah!” balasku cepat.
“Lo kok gitu sih. Plisss.” Raka kembali memohon. Tuhan, bagaimana menyadarkan anak
ini sih!
“Gue ogah. Lagian kenapa musti Nina
sih?” bukan apa-apa ya, tapi Nina itu saingan berat gue kalau kalian semua
pengen tahu. Ogah banget gue ngenalin Raka sama nenek-nenek lampir macam dia. Bisa
patah hati ntar Raka kalau tahu gimana kelakuan Nina.
“Nggak tahu juga sih. Gue ngerasa nyaman
aja kalo sama dia.” Raka bahkan tidak menyadari air mukaku yang menegang usai
dia mengatakan hal itu. Aku tentu aja marah, selama ini, gue Vanessa Safirah,
yang selalu ada disampingnya nggak dianggap ternyata.
“Trus lo anggap gue apa?” tanyaku tanpa
ba-bi-bu. Aku udah terlanjur sakit hati, udah terlanjut di sakiti berkali-kali
sampai rasanya nih hati udah mati rasa.
“Sahabat-lah. Lo kan yang paling ngertiin
gue, Nes.” Hati gue langsung mencelos. Ternyata selama ini dia cuma nganggep
gue sahabatnya. Sa-ha-bat, nggak lebih.
“Kok lo bisa bilang nyaman waktu deket
dia. Kapan lo ketemu dia?” tanya gue penasaran.
“Udah lama sih. Ternyata dia orangnya
asik lo, Nes. Easy-going banget.”
Wajahnya tampak berbinar-binar. “Jadi lo mau bantuin gue kan?”
“Lo kira gue mak comblang lo apa?
Ogah-ah.” Balasku tak kalah cepat. Segera aku cabut dari café langgananku sama
Raka sebelum aku terlanjut sakit hati lebih lama. “Mending gue pulang aja,
daripada nanggepin sesuatu hal yang nggak penting.”
Tanpa menatap ke belakang, aku langsung
melangkah cepat. Aku tahu Raka mencoba untuk mencegahku pergi. Aku hanya tidak
ingin terluka lebih dalam jika mendengarnya bercerita tentang perempuan.
Apalagi perempuan-perempuan yang pernah berhasil merebut hatinya.
“Nes, lo kenapa sih?” tanya Raka setelah
berhasil meraih tanganku dan memaksaku berhenti.
Aku menatapnya lama dengan pandangan
sedih, tapi dia pasti tidak menyadarinya. Dia tidak peka, Nes! Lo harus inget
itu. “Gue PMS, puas lo!” aku mengibaskan tangan miliknya dan segera kabur
sebelum dia mengejarku lagi.
**
Setelah kejadian itu, sebisa mungkin aku
menghindar untuk bertemu dia. Waktu di kampus, aku mencoba untuk menyibukkan
diriku dengan berbagai kegiatan yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan.
Karena dengan begitu, aku akan segera melupakan rasa sakit atas sikap Raka
tempo hari.
Saat hendak pulang tanpa sengaja aku
berpapasan dengan orang yang tidak ingin kulihat. Raka dan oh astaga! Dia
bergandengan tangan bersama Nina. Mungkinkah….
Tepat saat itu, Raka menoleh dan
melihatku. Aku membeku, tidak bisa bergerak apalagi berlari untuk
menghindarinya. Yang kutahu setelah itu, dia sudah ada di hadapanku dengan
cengiran lebar khas miliknya dan tatapan sengit Nina —yang aku sangat yakin
Raka tidak mengetahuinya.
“Hai, Nes. Lo kemana aja sih?” tanya
Raka masih dengan menggandeng mesra tangan Nina. Aku tidak segera menjawab
pertanyaan Raka, justru menatap lurus pada tangan mereka yang saling bertautan.
Mungkin Raka menyadari tatapan heranku karena setelahnya dia tersenyum, “Gue
jadian sama Nina, Nes.” Senyumnya makin mengembang saat mengatakan hal itu.
Aku diam, mungkin malah lebih
mengerikan, melongo. Rasanya baru kemarin Raka memohon-mohon buat di comblangin
sama Nina, sekarang udah main gandeng-gandeng tangan. Rasanya semuanya tampak
buram, airmataku rasanya ingin pecah dan mengalir mulus di pipi, tapi aku
menahannya. Tidak di depan mata playgirl
milik Nina yang aku sangat yakin sedang menertawakanku karena dia menang.
“Nes, lo nggak kasih selamat sama kita?”
Raka kembali bersuara, membuatku kembali ke dunia nyata dan kembali di hadapkan
pada situasi yang membuatku ingin mencakar-cakar wajah mulus mereka berdua. Gue
lagi patah hati, terus dia seenaknya bilang suruh ngucapin selamat?
“Ng, Eh…” aku terbata-bata, atau lebih
terpatnya masih kebingungan. Rasanya nyawaku melayang entah kemana.
“Nes…” panggil Raka.
Aku mendongak dan mendapati raut
khawatir tergambar jelas di wajah Raka. Buru-buru aku bersuara, “Ng, selamat
ya!” kataku akhirnya. Aku mencoba untuk tersenyum, tapi aku tidak yakin apakah
di mata kedua orang yang ada di depanku ini mereka menganggapnya senyuman.
“Nes, lo sakit?” tanya Raka. Aku senang
dia mengkhawatirkanku, tapi aku tahu itu hanya kekhawatiran seorang sahabat
kepada sahabatnya. Nggak lebih. Seharusnya kamu sadar, Nes.
“Nggak, cuma kurang enak badan.” Balasku
asal. Aku ingin segera cabut dari hadapan mereka berdua. Merasa muak dengan
tingkah mereka berdua yang kelewat romantis.
“Gue anter pulang ya, Nes?” tahu-tahu
Raka sudah di sampingku, meninggalkan Nina yang terlihat dongkol di belakang
kami.
“I’m
okay, Ka.” Ucapku berharap dia segera pergi dari hadapanku karena aku
sedang tidak ingin melihat wajahnya, terutama wajah bahagianya. Mungkin aku
egois, karena berharap bahwa Raka tidak bahagia, tidak jika bersama Nina.
“Balik gih, kasian Nina ditinggal sendiri.”
“Nina bisa naik taksi, Nes. Aku khawatir
nanti lo kenapa-napa di jalan.” Jelas Raka, membuat langkahku berhenti dan
menatapnya.
“Lo nggak perlu khawatir berlebihan sama
gue? Cuma nggak enak badan doang kok. Gue bisa jaga diri sendiri, Ka.” Kataku
akhirnya.
“Tapi akan lebih baik kalo ada orang di
samping lo. Gue cuma takut, Nes.” Raka menunduk, membuatku merasa bersalah
karena tadi sedikit bersikap kasar kepadanya. “Gue cuma nggak pengen sahabat
gue satu-satunya kenapa-napa.”
Sahabat.
Kata itu entah kenapa terdengar
menyakitkan di telingaku. Aku tahu sekeras apapun aku mencoba untuk berharap
bahwa mungkin Raka punya perasaan lebih, tapi nyatanya itu hanya khayalanku
saja. Aku terlalu banyak berharap ada perasaan lebih dari Raka padaku, padahal
sebenarnya itu tidak pernah ada.
“Nes…” panggil Raka ketika aku lagi-lagi
hanya bergeming tanpa bicara. Dia mencoba menyadarkanku dengan menyentuh
lenganku, tapi aku segera menepisnya. Rasanya hanya dengan dia menyentuh
lenganku, sama saja dengan dia menanamkan seribu jarum yang siap menusuk dan
menjalarkan rasa sakit yang teramat.
“Gue bukan anak kecil lagi, Ka. Gue udah
gede. Daripada lo pusing-pusing mikirin gue, pergi dari hadapan gue sekarang
juga lalu temui pacar baru lo itu.” Tegasku. Aku tahu aku kasar saat mengatakannya.
Raka sempat terkejut dengan responku yang kelewat meledak-ledak, tapi aku tidak
memedulikannya. Yang kubutuhkan saat ini hanyalah pulang ke rumah dan kalau
perlu tidak usah kembali lagi ke kampus.
**
Kupikir aku bisa menghindari Raka untuk
beberapa hari, tapi hari ini dia nekat datang ke rumahku, padahal aku sudah
berusaha memblokir aksesnya untuk bisa menghubungiku. Aku menonaktifkan
Whatsapp, BBM, bahkan aku tidak membalas puluhan sms yang coba dia kirim ke
ponselku.
Ketika aku mendengar degap langkah
kakinya, aku berpura-pura tidur. Aku belum siap untuk bertemu dengannya,
apalagi menatap mata serta wajahnya yang hanya akan membuatku tambah terluka.
Gagang pintu di putar, lalu langkah kaki
itu berjalan pelan menghampiriku. Aku yakin sekarang Raka ada persis di samping
tempat tidurku.
“Nes…” suara itu, suara yang kukenal.
Suara yang sangat-sangat aku rindukan berhari-hari. Suara Raka. “lo tidur ya?”
Aku diam. Mencoba berkonsentrasi pada
drama berpura-pura tidur layaknya Princess Aurora, tapi sayangnya aku bukanlah
Princess Aurora yang menunggu Pangeran untuk mencium dan membangunkanku dari
mimpi indah.
Lalu sebuah tangan membelai puncak kepalaku,
membuatku berusaha sebisa mungkin untuk tidak bergerak gelisah karena sengatan
aneh yang menimpa tubuhku karena sentuhan itu.
“Nes, gue rasa lo mulai berubah deh!
Nggak kayak Vanessa yang gue kenal.” Ucapnya lirih, tapi masih bisa tertangkap
kupingku yang memang waspada. Aku masih berpura-pura tidur, mungkin saja dengan
begitu dia akan mencurahkan semuanya. Semuanya…
“Maaf ya kalau semua yang gue lakuin
buat lo percuma. Maaf…” jeda panjang sampai aku berpikir Raka sudah pergi. Tapi
setelah melirik sekilas, aku tahu kalau Raka masih ada di sampingku dengan
wajah tertunduk. Kenapa aku jadi merasa bersalah?
Aku berusaha mati-matian untuk tidak
terlena dan bangun. Aku sungguh belum siap. Hati ini masih sangat sakit atas
apa yang terjadi, atas sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan bulat-bulat.
Kenyataan tersebut bernama Sahabat.
**
Kutatap
lagi pesan milik Raka. Aku sebenarnya enggan untuk merespon apalagi sampai
menemuinya. Sudah lama sejak insiden Raka meminta maaf kepadaku. Aku tidak
merespon juga tetap menghindarinya. Aku cuma butuh sendiri, dengan begitu aku
akan bisa melupakan rasa sakit hati dulu. Hampir saja bisa sampai sms itu
mendarat di ponselku. Aku menimbang-nimbang untuk menemuinya. Tapi tanda
terduga, akal sehatku akhirnya memutuskan untuk menemui Raka, dan di sinilah
aku sekarang. Di taman kampus dengan Raka yang berada di sampingku. Bungkam dan
terus menunduk.
“Sekarang
apa?” tanyaku sewot. Bayangin, dari aku datang sampai sekarang dia terus
menunduk. Nggak mau bicara. Keputusanku rasanya salah.
“Gue
putus sama Nina, Nes.” Balasnya lesu.
Oh.
Bukannya aku menyumpahinya untuk segera putus ya! Bukan. Tapi rasa senang tiba-tiba
menjalar keseluruh tubuhku. Kupu-kupu dalam perutku berterbangan tidak karuan.
“Padahal
gue sayang banget sama dia Nes. Gue coba tanya apa salah gue, tapi dia terus
berkelit. Gue udah berusaha buat ngertiin dia.” Curhat Raka, “Gue harus gimana,
Nes?”
Dia
akhirnya menatapku dan setelah itu aku baru tersadar. Wajah Raka lesu dan kunyu
seperti habis tersiram air es. Rambutnya acak-acakan. Ekspresi wajahnya
menyiratkan kesakitan dan frustasi. Melihat itu, hatiku kembali sakit. Melihat
Raka seperti orang yang tidak berdaya karena seorang perempuan membuatku
terluka. Rasa senang yang tadinya menjalari tubuhku, tiba-tiba menguap begitu
saja setelah melihat tatapan Raka.
“Lo
sayang banget ya sama Nina?” tanyaku ragu-ragu. Aku takut mengetahui jawabannya
tapi aku rasa penasaranku jauh lebih besar daripada rasa takutku.
“Gue
sayang banget sama dia, Nes.” Raka menjambak rambutnya, frustasi. “Gue harus
gimana, Nes? Gue nggak mau kehilangan dia.”
Aku
benci kenyataan itu. Kenyataan bahwa memang Raka tidak akan pernah menganggapku
special. Kenyataan bahwa Raka akan selamanya hanya menganggapku sebagai sabahatnya.
“Nina
itu playgirl, Ka.” Kataku akhirnya,
berusaha untuk tidak marah padanya karena ketidaktahuannya. Aku yang salah,
seharusnya aku mencegah dia untuk dekat dengan Nina. Kalau saja aku bisa
mencegahnya, mungkin kejadian seperti ini nggak akan terjadi.
Di
sampingku, Raka terkejut. Wajahnya menegang, “Lo kok ngomong gitu sih? Dia kan
temen lo! Tega ya lo!” tungkas Raka. Aku pikir dia marah karena
ketidaktahuannya, tapi ternyata dia marah karena aku menuduh Nina.
Aku
berusaha untuk tidak terpancing emosi karena kemarahannya, tapi aku tidak bisa.
Aku sudah terlanjur sakit hati karena kata-katanya tadi. Aku sudah berusaha
memberitahu Raka yang sebenarnya, tapi dia malah menyalahkanku. Menuduhku
memfitnah Nina.
“Buka
dong mata lo, Ka. Bukan cuma Nina doang yang nunggu cinta lo. Masih ada orang
yang care sama lo. Yang berusaha buat
tetep sayang sama lo meski lo udah nyakitin hatinya. Dia rela nge-jomblo
bertahun-tahun cuma buat nunggu lo buat nembak dia. Nunggu lo sadar kalau
ternyata ada yang sayang lo. Tapi lo nggak pernah sadar, Ka.” Aku memuntahkan
semua unek-unek yang ada di hati. Karena kemarahannya tadi membuatku kelepasan
mengatakan hal yang sebenarnya tidak boleh aku katakan.
“Nes…”
Raka tampak terguncang. Mungkin informasiku barusan membuatnya terkejut. Tapi
aku tidak ingin berhenti sebelum dia mengetahui semuanya.
“Nggak,
Ka. Lo harus tahu semuanya. Dia rela sakit hati waktu lo deket sama perempuan
lain. Tapi dia coba sabar, Ka. Berusaha menyakinkan dirinya sendiri kalau lo
pasti akan menyadari cintanya. Tapi…” aku menggantung kalimat, menarik napas
panjang lalu melanjutkan, “Lo tu nggak pernah peka.” Akhirnya setelah
bertahun-tahun memendamnya, aku bisa mengutarakannya.
“Kenapa
dia nggak nyatain cinta duluan aja, Nes? Biar gue tahu.”
“Lo
pikir perempuan punya nyali besar buat nyatain cinta. Perempuan itu cuma bisa
nunggu, Ka. Nunggu doang!” pekikku marah.
“Dia
siapa, Nes?” tanya Raka.
Damn it.
“Lo
masih nggak tahu siapa dia? Dia yang selalu ada buat lo. Yang selalu dengerin
curhat-curhatan lo mengenai gebetan-gebetan lo. Yang mau nampung segala keluh
kesah lo. Yang sekarang ini ada di hadapan lo.” Aku menelan ludah saat
mengatakannya. Kutatap Raka yang terperangah dan diam tanpa ingin bersuara. Aku
menunggu —cukup lama sampai kupikir aku ingin lari saja karena dia tak kunjung
bicara.
“Nggak
bisa, Nes. Itu nggak boleh.” Tatap Raka. Wajahnya tampak lebih frustasi setelah
informasi mendadak yang baru di dengarnya. “Kita sahabat.”
“A guy and a girl can’t be just friends,
Ka. Lo harus tahu itu. Dari dulu gue nggak pernah nganggep lo sahabat.
Sekalipun nggak terlintas.” Ucapku. Dadaku sesak, kepalaku rasanya di hantam
godam. Pengakuan yang kubuat membuatku lemas. Seluruh tubuhku rasanya terkurang
habis karena mengakuan itu.
“Nes…”
panggil Raka. Aku tahu dia bingung untuk menjawab apa.
“Gue
nggak butuh jawaban dari lo. Gue cuma mau buat pengakuan aja. Gue nggak mau
nunggu terus orang yang nggak pernah ngganggep gue. Capek lama-lama nunggu, Ka.
Lagipula apa setelah gue kasih mengakuan lo bakal suka sama gue. Nggak, kan?”
“Kita
bisa tetep jadi sahabat, Nes.”
“Nggak.
Gue nggak bisa, Ka. Tadi gue udah bilang, kan. Gue nggak pernah bisa kalo harus
sahabatan sama lo. Gue nggak sanggup nahan rasa sakit lebih lama lagi. Mending
kita udahan aja sahabatannya, gue harap lo nantinya bakalan dapet sahabat yang
lebih ngerti lo.” Aku bangkit dan melangkah cepat. Aku ingin menangis, tapi
menahannya. Aku tidak ingin Raka menganggapku lemah. Tidak jika di depan Raka.
Kupikir
Raka bakalan mencegah kepergianku. Paling tidak memanggil namaku. Tapi ternyata
tidak. Dia tetap bergeming di bangku taman tempat kami duduk tadi. Aku terluka
dan ini yang paling parah. Sampai kapan pun memang kami tidak akan pernah
bersatu. Ada sebuah garis yang menghalangiku untuk bisa meraih Raka. Garis kuat
yang tidak bisa kulewati hanya dengan tubuh dan kekuatan hati saja, apalagi
hanya aku yang berjuang sendiri. Garis yang membentang panjang layaknya
samudera yang sulit untuk dilewati. Orang-orang biasa menyebutnya Friendzone.
0 komentar:
Posting Komentar