Judul : Pre Wedding in Chaos
Penulis : Elsa Puspita
Penyunting : Pratiwi Utami
Perancang Aksara : Septi Ws, Intan Sis
Penata Aksara : Endah Aditya
Penerbit : Bentang Pustaka
Tanggal Terbit : Oktober 2014
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-291-056-5
“Nyatuin dua kepala itu
nggak pernah gampang, makanya kompromi harus selalu di barisan terdepan dalam
hal apa pun”—hal. 209
Hubungan
selama apa pun, lima tahun, tujuh tahun atau yang lebih lama lagi sembilan
tahun belum tentu bisa menyatukan dua insan manusia yang sedang jatuh cinta
untuk bisa menikmati indahnya pernikahan. Apalagi jika diantara mereka, ego
saling berkuasa dan mempengaruhi masing-masing agar tidak mau mengalah.
Begitulah
yang dialami oleh Aria dan Raga. Meskipun mereka sudah menjalani hubungan
selama sembilan tahun, tidak menutup kemungkinan bahwa saat persiapan
pernikahan banyak permasalahan yang mereka hadapi. Konsep acara, undangan,
pakaian, catering.
Apalagi
Aria memandang skeptic pernikahan, setelah apa yang dialami oleh kedua kakaknya
yang bisa dibilang mengalami pernikahan tidak sempurna. Reza, kakak sulungnya
menikah kali pertama di usia sembilan belas tahun karena pacarnya hamil duluan.
Lalu, kakak keduanya, Mayang yang menikah dengan laki-laki yang sudah beristri.
Mungkin itulah alasan mengapa Aria enggan untuk menikah. Dia tidak ingin di
poligami, apalagi kalau sampai suaminya mengatur-mengatur hidupnya. Dia ingin
Raga sampai menghalanginya untuk bertemu dengan sahabat-sahabatnya, Nessa, Mona
dan Adit.
Belum
cukup sampai disitu, mereka juga dihadapkan pada masalah yang lebih klimaks
dari pada itu. Aria benci dengan anak kecil. Dia akan selalu menghindar jika
sudah berada di dekat anak kecil. Menurutnya sisi manis anak kecil itu cuma
tipuan, wajah mereka yang sok imut itu nggak lebih dari sekedar jebakan biar
kita —para orang dewasa— menurut dengan mereka. Pertengkaran mereka selalu
terjadi hampir setiap hari. Ego masing-masing selalu menonjol untuk menang,
diantara Raga dan Aria tidak ada yang ingin mengalah. Ternyata mengenal
seseorang selama apa pun belum tentu bisa mengenalnya luar-dalam.
Awal pertama, penulis menyuguhkan kisah
yang menurut saya cukup enak untuk dibaca. Tentang sebuah persiapan pernikahan
dengan gejolak keraguan di pihak mempelai wanita. Merasa kurang srek
dengan apa yang dilakukannya, tapi kurang pantas juga jika akhirnya harus
diakhiri. Alur ceritanya mengalir pelan tapi pasti. Saya sampai sempat bingung
kenapa bisa secepat itu membaca novel, mungkin karena merasa nyaman dengan
alurnya.
Tapi saya agak kecewa dengan penuntasan
akhir cerita, menurut saya terlalu terburu-buru dan kesannya dipaksakan. Emosi
saya yang sempat dibuat naik-turun langsung menguap begitu saja saat mencapai
akhir cerita. Konflik terbesar yang terjadi di bagian akhir buku pun entah
kenapa tidak mampu mencapai klimaksnya, dan apa yang terjadi pada kedua tokoh
utama setelah konflik berlalu hanya mampu membuat saya membatin, “Ealah,
cuma begitu doang to???”
“Kalau
menurut gue, sih, hidup itu tuh, kayak permainan. Ada tahap-tahap yang harus
kita lewatin buat naik level. Level pertama pas baru lahir. Terus, belajar
tengkurap, merangkak, berdiri, jalan, sampai akhirnya bisa lari. Level
selajutnya tingkatan sekolah, kuliah, kerja. Habis itu nikah. Di part nikah,
levelnya adaptasi dan punya anak. Kalau lagi main game dan lo stuck di level
itu-itu aja, apa lo nggak bosen, terus berhenti main?”—hal. 218
Suka dengan karakter Raga yang bisa
dibilang cukup dewasa dibandingkan Aria yang menurutku malah kekanak-kanakan.
Dia bisa membimbing Aria dan tidak terlalu menuntut Aria dalam hal apa pun.
Walaupun dia harus rela menunggu Aria selama sembilan tahun. Sembilan tahun itu
bukan waktu yang singkat lho! Jadi salut banget. Balutan kisah romance dan
ketegangan yang disajikan penulis membuat saya cukup puas. Karena ya, saya
memang tidak terlalu suka kisah romance yang terlalu mengumbar kemesraan saja.
Tidak pernah menyangka akan disuguhkan
ending yang mengejutkan —saya sampai shock— saat sampai apa Epilog
cerita. Saya pikir masalah-masalah yang dihadapi para tokoh utama bisa
diselesaikan. Dan mereka bisa menikah tentunya—itu sebenarnya harapan saya—.
Tapi penulis membalikkan semuanya, membuat khayalan saya tentang dua tokoh
utama yang akhirnya bahagia itu sirna. Mungkin karena saya sudah masuk dalam
cerita jadinya agak kecewa juga.
Satu hal yang saya bisa ambil dari sini,
bahwa kisah romance tidak selalu melulu harus bahagia, indah dan menyenangkan
karena kesedihan, keegoisan, kemarahan selalu berbalut dan ada dalam kisah
romance itu sendiri. Dan mereka selalu jadi satu paket yang tidak bisa dipisahkan
—tentunya.
“When
life is well, say thank you and celebrate, and when life is blitter, say thank
you and grow.” —Shauna
Niequist
0 komentar:
Posting Komentar