Judul : 28 Detik
Penulis : Ifa
Inziati
Penyunting :
Dila Maretihaqsari
Perancang Sampul
: Bara Umar Birru
Pemeriksa Aksara
: Nunung Wiyati & Sheraynardia
Penata Aksara :
Gabriel
Penerbit :
Bentang Belia
Tanggal
Terbit :
November 2014
Edisi :
Cetakan
Pertama
ISBN :
978-602-1383-03-2
“Kamu
boleh melihat-lihat luar, tapi carilah jiwa itu di dalam hati. Karena, memang
nggak pernah ke mana-mana sejak kamu ada di dunia. Bakar istimewa kamu, pasti
juga ada hubungannya dengan jalan yang kamu tempuh.” —hal. 90
Bakat dan Semangat, siapa yang setuju kalau kedua kata
itu saling berhubungan?
Semangat tanpa bakat, tidak ada gunanya dan sia-sia.
Begitu pula jika mempunyai bakat tapi tidak punya semangat untuk
mengembangkannya. Bakat itu juga akan terbengkalai sia-sia juga. Jadi Bakat dan
Semangat itu sangat berkaitan mesti punya arti yang berbeda.
Begitu pula yang dialami dua tokoh dalam novel ini.
Candu dan Rohan. Candu, adalah seorang barista hebat di kedai KopiKasep, yang
menganggap dirinya lebih punya semangat daripada bakat. Sedangkan, Rohan adalah
seorang gadis SMA yang memiliki bakat menghafal rumus-rumus Fisika sejak lahir
atau yang biasa disebut Si-nestesia.
“Karena
dia adalah orang pertama yang mengajak saya mengobrol dengan pantas, seperti
halnya dia menjadi orang pertama yang membuatmu memperhatikan hal selain kopi.”
—hal. 192
Mereka berdua bertemu di kedai KopiKasep tempat Candu
berkerja. Basa-basi singkat yang akhirnya menjalar menjadi obrolan yang wajib
bagi Candu. Dia merasa Rohan berbeda. Dia nyebelin, aneh, dan tentunya cantik,
walaupun awalnya kaku dan jarang bersenyum. Apalagi Rohan sangat tidak menyukai
kopi, karena dia selalu memesan Raspberry ices tea. Candu selalu
penasaran dengan gadis itu, karena Rohan sempat menawarkan untuk menukar
bakatnya dengan semangat Candu.
“Nggak
ada rasa yang cuma satu. Di balik benci pasti ada cinta, di balik cuek pasti
ada sayang, masa di balik pahit aja nggak bisa ada rasa manis? Makanya, kamu
harus tahu cara menikmatinya dulu. Hidup juga sama kayak kopi, kerasa pahit
kalau nggak tahu cara menikmatinya.” —hal. 118
Selain itu, tanpa bisa dicegah sebuah cinta akan
selalu muncul tanpa bisa dihentikan, tanpa bisa kita hindari. Serry, Candu,
Rohan, Winona dan juga Satrya. Mereka harus mengakui kalau memang merasakannya.
Serry dengan Candy, Candy dengan Rohan, serta Satrya yang memang sudah
mencintai Winona lama. Tapi selalu ada yang tidak merasakannya, yaitu Candu.
Ya, dia tidak peka terhadap perasaan itu. Dia juga merasakannya, cinta itu,
tapi tidak tahu apa artinya. Karena bukan itulah tujuannya, dia sangat
mencintai kopi, sehingga cinta itu tertutupi oleh kecintaannya dengan kopi.
“kamu
nggak mungkin tahu apa itu lenyap kalau tidak pernah menemukannya sejak awal.
Kamu boleh sadar kalau kamu cinta saat itu ada, tapi kesadaran saat tiada itu
seperti panah yang melesat dari jauh dan menusuk kepala. Tak terdengar, hanya
langsung sakit.” —hal. 188
Kebanyakan
adegan berlatar di kedai KopiKasep serta kesibukan masing-masing tokohnya.
Bagaimana cara membuat kopi dan suasana di kedai KopiKasep serta kehadiran
Rohan. Awal membaca, agak bingung juga karena menggunakan sudut pandang orang
pertama yaitu Aku. Okay, yang saya bingungkan itu adalah siapa Aku dalam
novel ini. Sempat mengira mungkin Aku dalam novel ini adalah seorang perempuan,
entah bernama siapa.
Tapi setelah
membaca lebih lanjut, saya baru nggeh kalau aku dalam novel ini adalah
sebuah benda. Mesin espresso.
Simoncelli. Itulah namanya, pemberian dari Candu. Padahal penulis sudah
menjelaskan diawal cerita, tapi saya baru nggeh-nya waktu dipertengahan.
Yess, itu membuat saya langsung terkejut. Mungkin yang pernah membaca
novel ini juga merasakan hal yang sama seperti saya.
Konflik yang
disajikan penulis pun tidak hanya masalah romance, sebagian besar adalah konflik
para tokoh dalam menghadapi kompetisi NBT. Karakter para tokohnya yang memang
berbeda-beda membuat cerita dalam novel ini semakin semarak. Sebut saja Winona
yang memang suka berteriak-teriak, lalu Candu yang selalu mengoceh
menyemarakkan suasana KopiKasep, Satrya dengan sifat kalem dan tenangnya, Serry
yang murah senyum, dan Nino yang setia duduk di meja kasir dan nyaris tidak
berbicara sepatah kata pun. Tidak lupa, penghuni baru KopiKasep, Rohan dengan
buku-bukunya di sudut. Meskipun begitu, sebagian jalan ceritanya bisa ditebak
dengan mudah. Jadi saya tidak kaget jika ternyata yang mengkhianati Candu
adalah Rohan. Uppss, spoiler…
“Nggak
ada yang lebih pengertian dari kopi. Ia selalu ada kapan pun kita butuh. Dan,
ia nggak pernah rewel, nggak pernah ngambekan. Ia juga wangi dan hangat.
Sempurna banget, kan?” —hal. 197
0 komentar:
Posting Komentar