source here
“Kadang,
kita tidak mau keluar dari zona nyaman kita. Kadang, kita tak mau menyerah begitu
saja dan mempertahankan apa yang kita miliki sekarang. Padahal di luar sana,
masih ada banyak hal yang mungkin lebih bagus, lebih baik, dan lebih indah dibandingkan
dengan apa yang sekarang kita miliki.”
—Andry Setiawan, (Not)
Alone in Other Land—
Keluar
dari zona nyaman dan harus tinggal di luar kota bukanlah hal yang terlintas
dibenak saya sekaligus teman-teman saya dua tahun yang lalu. Tapi karena tugas
sekolah, kami harus mau keluar dari zona nyaman. Kami anak-anak Tulungagung
yang harus menjalani Praktek Kerja Industri di luar kota. Malang tepatnya.
Memang bisa dibilang tidak terlalu jauh, tapi bagi kami yang memang tidak biasa
dengan dunia luar, harus bersusah payah menjalaninya selama 3 bulan. Susah dan
senang kami tanggung bersama. Banyak tawa canda, serta tangis yang mewarnainya.
Bukan hal yang mudah memang, apalagi saat saya sudah terlalu nyaman tinggal di
zona yang bisa dikategorikan biasa-biasa saja.
Tapi
dari itu semua, saya menemukan hal baru. Bertemu orang baru dengan karakter dan
suku bahasa yang berbeda-beda. Sempat saya dan teman-teman saya merasa
kewalahan menterjemahkan bahasa saat menjumpai orang baru yang terlalu nyaman
dengan bahasa ibu mereka. Tapi dari situ, saya belajar banyak sekali bahasa
yang dulunya mungkin belum pernah saya dengar.
Dari
sini juga, saya bisa mengenal lebih dalam teman-teman saya. Sifatnya,
kebiasaannya, marahnya, tawanya, sedihnya. Hampir setiap hari kami selalu
bertengkar, menangis, tertawa, diam, bercanda. Semua itu melebur menjadi satu.
Saat kami harus saling menjaga satu sama lain, merawat salah satu teman jika
mereka sakit. Kebingungan saat akan memasak, bingung dengan rute jalan. Sampai
pernah saya dan salah satu teman saya harus mengalami nasib yang kurang baik
karena teledor. Dan dari semua kejadian itu, kami selalu mengambil hikmahnya.
Bahwa dengan kami bersama, kami akan selalu aman.
“Persahabatan
bukan hanya tentang diri kita menerima orang lain, tetapi juga membiarkan diri kita
diterima orang lain.”
—Andry Setiawan, (Not) Alone in Other
Land—
Sebuah
pertemuan selalu akan mengalir pada pangkalnya, yaitu perpisahan. Setelah semua
yang saya rasakan, setelah akhirnya saya mulai nyaman dengan kehidupan baru.
Saya dihadapkan pada satu pilihan. Perpisahan. Itu adalah kalimat paling
menyakitkan dalam hidup saya, tapi tidak ada pilihan lain yang tentunya bisa
saya pilih.
“Perpisahan, cara terbaik untuk menyadari kerinduan…”
BalasHapus—Christina Juzwar, Seoul, I Miss You—
I agree :)
Hapus