Selasa, 31 Maret 2015

[Review] Vandaria Saga : Winterflame





Judul : Vandaria Saga : Winterflame
Penulis : Fachrul R.U.N
Penyusun Ide Cerita : Ami Raditya, Fachrul R.U.N., dan Tim Vandaria Saga
Penyunting : Melody Violine
Pemeriksa Aksara : Gita Nuari
Ilustrator Isi : Staven Andersen, Rama Indra, Robert Tan, Marissa Anastasi, Yohan Power
Ilustrator Sampul : Rama Indra
Penata Letak : Henry Darmawan
Penerbit : Artoncode
Tanggal Terbit : November 2014
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-71089-0-5

“Saat tegang, bahkan bayanganmu sendiri bisa terlihat menakutkan.” —hal. 20

Akibat kematian Dymitrios ( Penguasa Ortheva) karena ditikam oleh anaknya —pangeran Vassily Ortheris, krisis ekonomi terjadi di Negara-negara yang dikuasainya, tak terkecuali Porzar. Dan itu mendorong Sasha, Rhys, dan Algissara untuk mencuri kargo milik Lonji. Tapi bukannya mendapat apa yang mereka inginkan, tiga orang tersebut malah harus dikirim ke Alarus untuk dijadikan budak akibat kesalahan Rhys yang membebaskan budak-budak illegal milik Lonji. Disana, Rhys, Sasha, serta Algisarra harus menjadi budak dan ikut menggali gua tempat Winterflame bersemayam serta berbagai serangan Monster penghuni gua.

Alarus adalah Wilayah bekas tambang emas yang terkutuk dan dikuasai kaum buruk rupa, saxmor. Menurut mitos, disanalah tempat Winterflame bersemayam. Tak seorang pun pernah kembali untuk menjelaskan apa yang dialami di sana.

Winterflame. Senjata dalam legenda. Bentuk Winterflame memang terlalu ganjil untuk tombak. Bagian luar lengkungannya diukir mirip tubuh manusia. Sekujur permukaan senjata tulang itu diselimuti oleh urat dan daging naga. Mata berwarna kekuningan tertanam di bagian bawah lengkungan, sekeras kristal. Tonjolan tulang tajam menghiasi bagian atas senjata bak deret belati.

Saat berada di Alarus, tanpa sengaja Rhys bertemu dengan Raskolnikov yang membuatnya harus dibuang ke Lembah Pembuangan Mayat karena Raskolnikov mengira Rhys sudah meninggal. Lalu, bagaimana dengan Rhys ? Apa dia sudah mati karena racun yang diberikan Raskolnikov ? Dan siapa yang akhirnya bisa menakluk-kan Winterflame dan menjadi Penguasa Ortheva selanjutnya?

Siapkah kau menjadi saksi dari kekuatan Winterflame ?


Novel ini menghantarkan saya ke dalam sebuah dunia baru, yaitu Vandaria dengan keindahan yang memang dituliskan oleh penulis dengan apik. Saya serasa benar-benar ada dalam dunia Vandaria dan berpetualang bersama Rhys, Sasha serta Algisarra dalam perburuan mereka mencari Winterflame. Sunguhan yang mengangumkan dan sulit untuk dilupakan.

Konfliknya bisa berbaur dengan sempurna. Banyak kejutan-kejutan yang saya temukan dalam novel ini, terutama dalam karakter Rhys yang memang punya banyak sekali masa lalu yang kelam. Dari mulai dirinya yang ternyata adalah Pangeran Vassily Ortheris sampai masa lalunya dengan Natalya. Tidak cuma itu saja, masa lalu Algisarra tidak kalah kompleks dibandingkan Rhys yang ternyata adalah salah satu anggota kelompok Regu Dua Belas suku Hyomon, suku yang hancur karena kesalahan Algisarra membeberkan keberadaan sukunya kepada Selvarath.

“Aku sudah… mengakui masa laluku. Kamu mau melakukan hal yang sama? Silahkan kalau iya. Apa pun yang pernah kamu lakukan, kurasa dosa-dosaku lebih buruk. Lebih berat.” —Rhys

Intrik yang disajikan membuat saya tidak bisa melepas barang sedetik pun dari membaca novel ini. Saya tidak hanya diajak duduk dan bersantai ria dalam membaca setiap halamannya, tapi juga diajak berlari bahkan bertarung menghadapi para monster juga para saxmor yang senantiasa mengawasi gerak-gerik di kegelapan. Selalu ada kejutan tak terduga yang membuat saya berpikir, “Kejutan apa lagi yang menanti saya di halaman selanjutnya ?”

Kisah cinta menjadi bumbu-bumbu dalam novel ini. Terutama saat Rhys selalu Algisarra disaat-saat terjadi masalah yang genting. Rhys selalu berusaha melindungi Algisarra dari bahaya, begitu pula Algisarra. Dia juga akan melakukan hal yang sama, meskipun nyawa taruhannya. Meskipun kisah cinta mereka berdua tidak terlalu kentara, tapi melalui show don’t tell, saya sangat yakin mereka sama-sama jatuh cinta.

“Kamu tahu apa yang menyebalkan? Saat kamu tahu kamu setengah mati membenci seseorang, tapi kemudian kamu teringat kalau kamu sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya.” —Sasha

Saya sangat mengagumi sosok Rhys. Orang yang mengorbankan dirinya di Alarus untuk menyelamatkan kedua sahabatnya, terlebih kepada Sasha yang memang tidak mempunyai keahlian dalam bertarung dibandingkan Algisarra yang memang sudah sangat terlatih. Tapi aku sangat kecewa dengan sosoknya yang malah melarikan diri dari masa lalu.

Kelebihan novel ini menurut saya adalah penggambaran lokasinya. Banyak sekali gambar yang dimuat dalam novel ini. Semuanya adalah setting cerita / tempat kejadian-kejadian berlangsung. Mulai dari lembah Alarus, lembah pembuangan mayat, perkampungan suku Hyomon sampai Negeri Krev dengan detail gambar yang terlihat nyata. Karena dengan begitu, mudah bagi saya khususnya untuk membayangkan bagaimana keadaan kota atau lokasi yang disampaikan penulis.




Sayangnya, cerita yang apik ini tidak dibarengi dengan susunan katanya. Banyak sekali typo yang saya temui disini. Well, itu sangat mengganggu sebenarnya, tapi karena pesona penulisan dan imajinasi yang luar biasa ini, membuat saya tidak menghiraukannya. Anggaplah sebagai hiburan karena ketegangan yang diciptakan mampu membuat mata tidak berhenti berkedip. 

Kamis, 26 Maret 2015

#TantanganMenulis 6: Age-otori






source here
Memotong rambut?
 
Mungkin sebagian besar orang pasti pikir-pikir dulu deh buat potong rambut, apalagi kalo rambutnya itu udah panjang dan lurus. Wihh.. pasti nggak bakal rela, soalnya manjanginnya juga lama. Bisa sampai bertahun-tahun.

Nah, kalo aku sih. Dulu itu paling anti sama gunting rambut. Sampai kadang diomelin sama ibu karena rambutku yang memang udah panjang dan nggak lurus alias bergelombang. Jadi kesannya nggak enak dipandang. Sempet mutusin buat potong rambut sambil berharap kalau misalnya nanti hasilnya bagus, apalagi waktu itu ada juga perempuan yang punya rambut sama kayak aku lagi potong. Nah, setelah ikut-ikut gaya rambut si mbak tadi, ehh ternyata jatuhnya di aku jelek. Kapok itu pasti, sampai hampir setahun nggak potong rambut karena trauma. Dan karena masih diomelin sama ibu juga, sampai telinga panas, akhirnya mau-tidak-mau potong rambut lagi tapi di salon yang beda. Takut kalo sama, hasilnya nggak memuaskan lagi.

Dan alhamdulilah, di salon yang sekarang ini, pelayanannya memuaskan. Hasilnya juga lumayan bagus. Sekarang pun, hampir tiap bulan selalu nyempetin buat ke salon. Potong rambut atau sekedar merapikan rambut yang bercabang. Dan sedikit demi sedikit rambutku yang mulanya bergelombang menjadi lurus *hehe lumayan kan, jadi nggak buang-buang duwit buat rebonding or smoothing. Karena emang dari dulu nggak pernah mau buat yang gitu-gitu, takut rambut rusak.

#TantanganMenulis 7 : Ceritakan sedikit tentang pengalaman tak terlupakan dalam hidupmu.



source here




“Kadang, kita tidak mau keluar dari zona nyaman kita. Kadang, kita tak mau menyerah begitu saja dan mempertahankan apa yang kita miliki sekarang. Padahal di luar sana, masih ada banyak hal yang mungkin lebih bagus, lebih baik, dan lebih indah dibandingkan dengan apa yang sekarang kita miliki.”
—Andry Setiawan, (Not) Alone in Other Land—
                                                                                     
Keluar dari zona nyaman dan harus tinggal di luar kota bukanlah hal yang terlintas dibenak saya sekaligus teman-teman saya dua tahun yang lalu. Tapi karena tugas sekolah, kami harus mau keluar dari zona nyaman. Kami anak-anak Tulungagung yang harus menjalani Praktek Kerja Industri di luar kota. Malang tepatnya. Memang bisa dibilang tidak terlalu jauh, tapi bagi kami yang memang tidak biasa dengan dunia luar, harus bersusah payah menjalaninya selama 3 bulan. Susah dan senang kami tanggung bersama. Banyak tawa canda, serta tangis yang mewarnainya. Bukan hal yang mudah memang, apalagi saat saya sudah terlalu nyaman tinggal di zona yang bisa dikategorikan biasa-biasa saja.

Tapi dari itu semua, saya menemukan hal baru. Bertemu orang baru dengan karakter dan suku bahasa yang berbeda-beda. Sempat saya dan teman-teman saya merasa kewalahan menterjemahkan bahasa saat menjumpai orang baru yang terlalu nyaman dengan bahasa ibu mereka. Tapi dari situ, saya belajar banyak sekali bahasa yang dulunya mungkin belum pernah saya dengar.

Dari sini juga, saya bisa mengenal lebih dalam teman-teman saya. Sifatnya, kebiasaannya, marahnya, tawanya, sedihnya. Hampir setiap hari kami selalu bertengkar, menangis, tertawa, diam, bercanda. Semua itu melebur menjadi satu. Saat kami harus saling menjaga satu sama lain, merawat salah satu teman jika mereka sakit. Kebingungan saat akan memasak, bingung dengan rute jalan. Sampai pernah saya dan salah satu teman saya harus mengalami nasib yang kurang baik karena teledor. Dan dari semua kejadian itu, kami selalu mengambil hikmahnya. Bahwa dengan kami bersama, kami akan selalu aman.

“Persahabatan bukan hanya tentang diri kita menerima orang lain, tetapi juga membiarkan diri kita diterima orang lain.”
—Andry Setiawan, (Not) Alone in Other Land—

Sebuah pertemuan selalu akan mengalir pada pangkalnya, yaitu perpisahan. Setelah semua yang saya rasakan, setelah akhirnya saya mulai nyaman dengan kehidupan baru. Saya dihadapkan pada satu pilihan. Perpisahan. Itu adalah kalimat paling menyakitkan dalam hidup saya, tapi tidak ada pilihan lain yang tentunya bisa saya pilih.

 

Miss Romances Book Published @ 2014 by Ipietoon