Sabtu, 27 Juni 2015

Menit Terakhir



"Diikutkan untuk Ramadhan Giveaway dengan tema [Friendzone]."


Kutetapkan hati, lalu melangkah mantap menuju pintu belakang rumah milik sahabatku, Emma. Pintu itu sudah terlalu reot, jadi aku bisa dengan mudah membukanya. Dari dulu sampai sekarang aku memang sudah terbiasa datang ke rumah Emma melalui pintu belakang. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang selalu membuatku gembira terpampang jelas dihadapanku.

Sebuah taman.

Taman kecil dengan kolam renang di sampingnya. Itulah alasan kenapa aku selalu datang melalui pintu belakang. Biasanya ketika aku datang, Emma selalu ada disana. Entah sedang melamun, membaca buku, atau sekedar mendengarkan musik. Aku tahu Emma sangatlah menyukai taman kecil ini, begitu juga denganku. Kadang, aku akan memanjat pohon besar lalu mulai mengerjai Emma. Tapi itu dulu, saat kami masih kecil. Sekarang, aku hanya bisa menatap pohon itu saja.

Kali ini Emma tidak ada. Tidak biasanya jam segini dia tidak ada di taman. Kulangkahkan kaki menuju sebuah ayunan kecil yang masih terawat padahal itu adalah permainan Emma waktu kecil. Aku duduk disana sambil menunggu Emma. Aku yakin gadis itu sebentar lagi akan datang.

Dan dugaanku benar, dari arah dapur kudengar senandung lagu yang di nyanyikan seseorang. Aku tahu itu Emma dari kepayahannya saat bernyanyi. Dia tampak menikmati alunan lagu yang didengarnya dari headsetyang menempel di telinganya tanpa menyadari kehadiranku. Begitu mendekat kearahku barulah dia terlonjak kaget.

“Ngagetin orang aja. Kebiasaan deh.” Ucapnya sebal. Bibirnya mengerucut, membuatnya semakin cantik. Dia melangkah mendekat dan duduk disebelahku.

“Itu udah tahu.” Balasku asal.


“Kok aku nggak denger suara montormu sih? Jalan kaki?” tanya Emma dengan wajah polosnya. Aku sempat heran dengan wajah polosnya itu, dari kecil sampai dewasa tetap saja masih ada.

“Nggak denger kali. Kamu kan pakai headset.” Kutatap Emma yang hanya mengangguk setuju. Dia kembali bersenandung seolah tidak menghiraukan suara cempengnya yang khas menyebar kesegala penjuru.

Kutatap Emma lagi, kali ini lebih lama. Aku ingin mengatakan sesuatu padanya, sayangnya aku belum yakin bisa. Tapi sampai kapan pula aku akan memendam perasaan ini. Sudah sejak lama aku ingin mengatakannya meskipunselalu tertahan. Sebab aku belum yakin dan juga takut. Takut jika harus mendengar jawaban yang tidak aku sukai keluar dari mulutnya. Kali ini aku akan mencoba, aku tidak mau terus di hantui rasa penasaran. Aku memantapkan hati lagi. Aku harus mengatakannya sebelum terlambat.

“Em, aku mau bilang sesuatu nih.” Ucapku pelan. Kuharap dia tidak mendengarkan saja, jadi aku tidak akan meneruskannya dan memilih topik yang lainnya. Tapi dugaanku salah, Emma mendengarnya. Dia lantas menatapku dengan alis berkerut, cukup kaget mungkin dengan bahasa formal yang kugunakan.

“Nggak usah formal juga kali, Don. Kayak mau nyatain cinta aja.” Balas Emma. Aku tahu dia hanya bercanda, tapi bagiku itu tidak lucu sama sekali. Yang dikatakan Emma benar. Aku memang ingin menyatakan cinta.

“Em, aku suka sama seseorang.” Kataku akhirnya. Aku menatap tepat di matanya. Mencari-cari gelagat yang mungkin akan ditunjukkannya padaku. Tertawa mungkin. Tapi tidak ada, aku tidak menemukannya.

“Kamu suka sama seseorang, siapa?” Emma menatapku tidak percaya. Aku maklum dengan tatapannya itu karena aku memang jarang sekali bergaul dengan perempuan kecuali Emma, jadi aku yakin saat akan mengatakannya pasti ekspresi Emma seakan-akan tidak percaya. “Aku kira kamu nggak suka perempuan.” Lanjutnya.

“Aku masih laki-laki normal, Em.”

“Jadi, siapa perempuan yang beruntung itu?” tatapan Emma membuat nyaliku untuk berucap sirna. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan. Bahagia, lebih tepatnya.

“Di—”

“Tunggu!” belum juga kuselesaikan perkataanku, Emma sudah menyelanya. Aku hampir kesal dibuatnya. “Aku juga punya kabar gembira buat kamu?” wajahnya berbinar-binar dan aku tahu Emma sedang sangat senang.

“Apa?” kuurungkan niatku untuk mengutarakan perasaan. Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya, jadi lebih baik dia dulu saja yang mengatakan kabar bahagia itu. Tapi setelahnya aku menyesali keputusanku, seharusnya aku saja yang mengatakannya duluan bukan Emma.

“Dino nembak aku kemarin.” Aku terperangah, nyaris terjatuh kalau saja kakiku tidak menopang tubuhku dengan benar. Aku sudah menduga kalau Dino juga menyukai Emma, tapi aku tidak tahu kalau dia selangkah lebih cepat dariku.

“Lalu?” aku mencoba untuk tidak merasa kecewa, tapi dari nada bicaraku yang ketus, aku tahu aku tidak bisa menyembunyikannya.

“Ya aku terima dong! Aku kan emang udah lama suka sama dia. Kupikir cuma aku aja yang diam-diam suka, ternyata dia juga membalas cintaku.” balasnya cepat. Emma kembali tersenyum, kali ini dua kali lipat lebih lebar dari yang biasanya dia tunjukkan padaku. Hatiku langsung hancur. Dadaku sesak seperti banyak jarum yang menancap disana. Kata-kata yang kuuntai sejak perjalanan ke rumah Emma lenyap sudah, “Oh iya, kamu tadi mau bilang apa, Don?”

Aku terdiam. Cukup lama. Mampukah aku mengatakannya setelah mendengar kabar buruk itu? Aku memejamkan mata sejenak, lalu mulai mengacak rambut frustasi.

“Doni…” kudengar Emma memanggilku. Mungkin kebingungan dengan tingkah yang kutunjukkan padanya.

Kutatap lagi Emma. Aku harus mengatakannya, entah bagaimana nanti reaksinya. Paling tidak aku sudah mengatakannya. Urusan ditolak itu belakangan. Yang penting Emma mengetahui perasaanku. Rasanya itu sudah cukup. Aku menarik napas sejenak, mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya.

“Aku suka sam—” belum juga kalimatku terucap lengkap, dari dalam rumah terdengar suara seseorang berteriak-teriak memanggil Emma. Emma mengalihkan pandangan dariku ke arah rumah dengan tatapan bingung.

“Emma…” suara itu lagi. Kali ini lebih jelas dan aku tahu siapa pemilik suara barithon itu. Dia kakak kembaranku, Dino.

“Em, aku belum selesai bicara. Dengarkan aku dulu, baru kamu bisa menemui kakakku.” Aku memohon kepada Emma, tapi kulihat Emma bergeming dan beranjak dari duduknya. Aku mencoba menahannya, tapi percuma.

“Nanti saja ngomongnya ya! Sekarang aku temui kakak kamu dulu.” Emma lantas berlari dan meninggalkanku yang kembali hancur. Belum juga aku mengutarakan perasaan, Emma sudah pergi. Meskipun begitu, aku masih bisa mendengar percakapan antara Dino dan Emma.

“Ada apa, No?” tanya Emma. Dino datang dengan wajah lesu. Tatapan matanya menyiratkan kekhawatiran dan kesakitan yang mendalam.

“Doni, Em. Doni.” Kakakku berteriak frustasi. Beberapa kali kulihat dia menjambak rambutnya.

“Doni kenapa?” raut wajah Emma semakin bingung. Mungkin bingung dengan perkataan kakakku, karena yang Emma tahu, aku dari tadi bersamanya.

“Doni kecelakaan sejam yang lalu sewaktu berangkat ke rumahmu. Dia meninggal ditempat, Em.” Kata-kata yang kutakutkan meluncur juga dari mulut kakakku. Dino lalu roboh dan menangis.

“Kamu bercanda, kan? Doni dari tadi sama aku, No.” ucap Emma. Dia menunduk dan menatap kakakku yang terus saja terisak, minta penjelasan.

“Buat apa aku mengada-ada berita buruk ini, Em.” Emma ikut roboh di samping Dino. Matanya lalu menatapku yang sepertinya sudah hampir menghilang.

“Nggak, nggak mungkin, No. Tadi dia sama aku. Dia ada disana,” Emma menunjuk ke arah ayunan, dimana aku berada. “ Tadi dia disana.” Kemudian Emma terisak dan bangkit tergesa-gesa melangkah ke arahku.

Dia terlonjak kaget. Dia tidak menemukanku. Tentu saja karena tubuhku mulai memudar. Kali ini tangisnya pecah, dia terisak-isak di dekapan kakakku.

“Seharusnya aku tadi mendengarkannya, No. Tadi dia ingin mengatakan sesuatu.” Ucap Emma disela-sela tangisnya.

Aku menatap Emma, sebelum pergi aku harus mengatakannya. Sebelum tubuhku benar-benar lenyap, aku harus mengatakannya. Walaupun mungkin dia tidak mendengar ucapanku, paling tidak aku sudah mengatakannya. “Aku suka kamu, Em.”Kataku akhirnya.

WedLock



"Diikutkan untuk Ramadhan Giveaway dengan tema [Wedding]."




Tidak ada yang berubah di pantai ini. Pantai Harlem, surga kecil di Jayapura. Begitulah wisatawan menyebutnya. Sudah lebih dari lima tahun aku tidak mengunjungi pantai ini dan juga kampung halamanku, Tablanusu, tempatku lahir dan tumbuh. Kesibukanku di Jakarta dan penatnya pikiran, membuatku berinisiatif untuk berkunjung ke pantai Harlem sekaligus menengok kampung halaman. Tidak ada yang berubah. Hanya saja pantai Harlem lebih ramai daripada dulu saat aku masih kecil.

Aku menyusuri pesisir pantai Harlem dengan bertelanjang kaki, membiarkan kakiku merasakan lembutnya pasir putih yang terhampar. Aku merindukan suasana nyaman yang tidak kudapat di Jakarta, Aku merindukan deburan ombak yang mengenai kaki. Dan aku juga merindukan kenangan yang seharusnya tidak boleh muncul kembali di otakku. Kenangan itu sebenarnya sudah kukunci dalam ingatan, tapi begitu melihat pantai Harlem, terpaksa ingatan tentang kenangan itu muncul dengan sendirinya layaknya pemutaran film bioskop.

Aku enggan untuk menghentikannya, biarkan saja toh aku tidak selamanya ada disini. Aku akan kembali lagi ke Jakarta dan kenangan itu akan menghilang dengan sendirinya seiring dengan kesibukanku di kantor. Jadi selama aku disini, aku akan membiarkan kenangan itu untuk keluar.

Aku terus melangkah sambil sesekali bermain dengan deburan ombak yang menghampiri kakiku saat mataku menangkap siluet seseorang. Lebih tepatnya seseorang yang kukenal, sangat. Aku berhenti dan menatapnya cukup lama. Seorang laki-laki sedang berada di tebing, duduk menyendiri. Wajahnya tidak terlalu kentara karena tertutupi rambut coklatnya yang mengenai dahi. Belum sempat aku memutar balik tubuh untuk menghidarinya, laki-laki itu menoleh.

Pandangan kami beradu seiring detak jantungku yang semakin tidak terkendali. Ini tidak boleh terjadi, pikirku. Aku harus menghindari orang itu, berlari secepat mungkin kalau diperlukan, tapi kakiku rasanya mati rasa. Aku diam di tempat sampai menyadari kalau laki-laki itu sudah ada dihadapanku, menatapku dengan binar yang sudah lama tidak kulihat.

Ricky. Itulah nama yang pertama kali terlintas di otakku.

“Ev…” panggil Ricky. Suaranya pelan tapi lembut, membuatku terpana sejenak. Padahal sudah sangat lama aku tidak melihatnya, tapi debaran di dadaku ini masih sama saat terakhir kali kami bertemu.

 Aku terus menatapnya tanpa bicara, aku merindukannya. Itu benar dan aku tidak ingin menampik kenyataan yang ada, tapi rasanya aku harus memendamnya lagi, ini terlarang.

“Kau akhirnya kembali Ev. Kau tahu, aku selalu menantikanmu. Orang-orang desa berpikir kalau kau tidak akan kembali, tapi aku yakin kau kembali. Dan sekarang, semuanya terbukti.” Ricky terus berbicara dengan senyum yang makin melebar dan binar kegembiraan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Lalu tanpa kuduga, dia memelukku. Meluapkan kegembiraannya. Sedang aku?

Aku hanya bisa terpaku. Aku bingung harus bereaksi apa, jika aku membalas pelukannya, aku takut dia berharap lebih tapi jika tidak, aku juga takut karena aku masih sangat menyayanginya walau hati ini melarang untuk melakukannya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Ricky, seolah mengerti gestur tubuhku yang hanya diam saja. Aku menggeleng pelan, lalu melepaskan diri dari pelukannya. Sungguh ini situasi yang sulit bagiku, aku ingin sekali memeluknya, meluapkan kerinduanku padanya, tapi aku siapa? Aku bukan siapa-siapa Ricky lagi.

“Dimana Julia?” tanyaku datar. Kening Ricky berkerut, seolah tidak mengerti maksudku. Dia diam sejenak lalu menghela nafas.

“Kenapa kau menanyakan Julia. Aku tidak mencintainya, aku hanya mencintaimu Ev.” Jawab Ricky.

“Kau tidak boleh mencintaiku lagi Ric. Tidak.” Kataku tegas.

“Kenapa Ev? Aku tahu aku salah, tapi aku tidak pernah mengkhianati cinta kita. Aku sungguh masih mencintaimu.” Ricky mencoba menjelaskan semuanya, tapi percuma saja. Aku tetap tidak bisa kembali padanya walaupun perasaan ingin memilikinya lagi masih ada.

“Tapi aku udah nggak bisa, Ric.” Ucapku, berusaha untuk tidak bergetar. Tapi percuma. Suaraku benar-benar bergetar.

“Kenapa lagi, Ev? Kurang cukupkah penantianku selama ini. Aku terus menunggumu. Aku bahkan belum menjalin hubungan dengan perempuan selain dirimu. Aku hanya mencintaimu.” Jelas Ricky berusaha menyakinkanku.

“Julia?” aku mengoreksi ucapan Ricky. Julia juga perempuan yang menjalin hubungan dengan Ricky dibelakangku.

“Dia menjebakku, Ev. Kau harus percaya padaku.” Dia menatapku, dan aku tahu kalau sinar dimatanya sendu, mungkin sudah lelah menantiku kembali.

“Lalu bagaimana dengan Mas Johan?” kataku pelan. Aku takut mengatakan kebenaran, tapi aku juga tidak ingin membohongi Ricky.

Ricky tampak kaget, “Siapa Johan, Ev? Kau punya pacar lagi. Kalau iya, kau hanya harus meninggalkannya dan kembali padaku. Aku tahu kau masih mencintaiku. Kau tidak bisa membohongiku, Ev. Aku tahu siapa kamu.”

“Dia bukan pacarku. Dia suamiku. Aku bahkan sudah punya dua anak darinya. Mana mungkin aku bisa meninggalkannya, Ric. Itu konyol.” Teriakku marah. Akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulutku setelah sebelumnya, kalimat itu tersendat di tenggorokan.

Aku tidak mendongak untuk mengetahui ekspresi Ricky, tapi aku yakin dia terkejut. Dia terhuyung ke belakang, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja di terimanya. Aku hanya bisa menangis tertahan dan tetap diam ditempatku berada.

“Kau bohong Ev. Aku tahu ini hanya leluconmu karena kau masih marah padaku, iya kan?” suara Ricky bergetar. Dia lalu mencengkeram bahuku, mendongakkan kepalaku untuk melihat apakah aku berbohong dari sinar mataku. Tapi percuma, karena semua yang kukatakan adalah kebenaran.

“Kau tahu aku selalu jujur padamu, Ric. Mas Johan adalah penyembuh luka hatiku kala kau mengkhianatiku. Dia selalu ada disampingku saat aku dalam keadaan terpuruk. Jadi sangat sulit untuk meninggalkannya hanya untuk bersamamu. Maaf, tapi aku tidak bisa.” Aku tahu suaraku bergetar saat mengatakan itu, tapi aku harus membuat keputusan. Aku tidak ingin Ricky berharap lagi padaku, karena dia juga berhak bahagia walaupun tidak dengan diriku. Aku melepas tangannya lembut dan pergi perlahan meninggalkan Ricky, cinta pertamaku.
 

 

Miss Romances Book Published @ 2014 by Ipietoon